REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai, wacana amandemen terbatas UUD 1945 yang tengah bergulir harus benar-benar diperhatikan urgensinya. Ia menyebut amandemen terbatas seolah kotak pandora.
"Amandemen ini seperti membuka kotak pandora, sebelum menyiapkan mitigasinya, sebaiknya pikir ulang tentang amandemen karena ketika kotak pandora ini dibuka maka keluarlah semua evil (kejahatan), semua penumpang gelap, semua ide yang uncontrolable," kata Mardani saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Rabu (14/8).
Mardani menyebut, kondisi sekarang ini adalah situasi yang tidak kondusif untuk mewacanakan amandemen terbatas. Pasalnya, kekuatan oposisi atau kekuatan penyeimbang tidak kuat. Mardani menilai, wacana amandemen baru tepat dalam pemerintahan yang kuat, didampingi oposisi yang kuat.
"Dengan perbandingan antara oposisi dan pemerintah 40-60 masih bagus, 45-55 lebih bagus," ucap Mardani.
Mardani khawatir dengan kemungkinan adanya pasal-pasal yang justru bertentangan dengan niat reformasi dan para pendiri bangsa. Perkara yang dikhawatirkan misalnya soal masa jabatan presiden.
"Kemarin kan reformasi kita sepakat membatasi kekuasaan presiden cuma dua periode. Ketika (amandemen terbatas) dibuka belum tentu ada kepastian bahwa itu bisa dikunci di dua periode," kata Mardani.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu juga menyoroti isu utama dalam amandemen terbatas, yakni penerapan kembali GBHN dengan peletakan MPR sebagai lembaga tertinggi. Mardani khawatir hal ini akan bertentangan dengan kedaulatan rakyat berupa pemilu langsung, mengingat ide dipilihnya presiden melalui MPR kembali mencuat.
PKS sendiri masih mengkaji dan belum menentukan sikap soal wacana amandemen terbatas ini. Ia mengapresiasi pandangan Wapres Jusuf Kalla yang juga memberikan peringatan soal isu amandemen terbatas. "Khawatir tidak, suudzon tidak, tapi background dan setting politik akan menentukan kualitas dari keputusan kita," ucap Mardani.
Mardani mengakui, amandemen terbatas tampaknya ingin menekankan kembali musyawarah mufakat sebagai asas demokrasi. Namun, kata dia, dengan komposisi antara pemerintahan dan oposisi yang tidak ideal, ia khawatir musyawarah justru tidak terjadi. "Orang akan sering tergoda untuk pakai senjata voting. Kalau itu yang terjadi demokrasi kita boleh jadi going nowhere. itu berbahaya," ucap Mardani.