Kamis 15 Aug 2019 07:32 WIB

Dua Politikus Golkar Hadapi Dakwaan Korupsi

KPK akan mempertimbangkan JC Bowo Sidik untuk mengungkap pelaku lain.

Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Bowo Sidik Pangarso mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Bowo Sidik Pangarso mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua politikus Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso dan Markus Nari, didakwa dalam kasus berbeda di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (14/8). Bowo yang merupakan anggota nonaktif Komisi VI DPR didakwa dalam kasus suap dan gratifikasi. Sementara itu, Markus, mantan anggota Komisi II, didakwa dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.

Dalam dakwaan pertama terkait suap, Bowo diduga menerima 163.733 dolar AS dan Rp 311 juta. Uang tersebut berasal dari Direktur PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Taufik Agustono dan Manager Marketing PT HTK Asty Winasty.

Bowo juga disebut menerima suap Rp 300 juta dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera, Lamidi Jimat. "Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara," kata JPU KPK Kiki Ahmad Yani di ruang sidang Pengadilan Tipikor.

Jaksa menyatakan, sejumlah uang suap itu diterima Bowo secara langsung dan melalui orang kepercayaannya, M Indung Adriani. "Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabata‎nnya," kata jaksa.

Uang dari pihak HTK diduga untuk memuluskan keinginan perusahaan tersebut mendapatkan kerja sama pengerjaan sewa kapal pengangkutan dari PT Pilog. Pasalnya, kontrak kerja sama antara PT HTK dan PT Pilog telah diputus atau berhenti.

Sementara itu, uang Rp 300 juta dari Lamidi Jimat diduga sebagai kompensasi karena telah membantu PT Ardila Insan Sejahtera (AIS) menagih utang PT Djakarta Lloyd sebesar Rp 2 miliar. Uang tersebut juga diduga untuk memuluskan PT A‎IS mendapatkan proyek penyediaan bahan bakar minyak (BBM) jenis marine fuel olil (MFO) untuk kapal PT Djakarta Lloyd.

Dalam dakwaan kedua tentang gratifikasi, diduga pada rentang 2016 hingga 2018 Bowo menerima uang tunai 700 ribu dolar Singapura dan Rp 600 juta. Penerimaan tersebut diduga berhubungan dengan jabatan Bowo selaku wakil ketua sekaligus anggota Komisi VI DPR dan anggota Badan Anggaran (Banggar).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Bowo telah mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk kasusnya. KPK akan melihat keseriusan dan konsistensi Bowo selama persidangan sebelum menentukan menolak atau menerima pengajuan tersebut. "Selama proses persidangan ini, KPK akan melihat keseriusan dan konsistensi terdakwa Bowo Sidik Pangarso," kata Febri.

Menurut dia, ada sejumlah hal yang akan dipertimbangkan. Di antaranya adalah bukan pelaku utama, mengakui perbuatannya, membuka peran pelaku lain yang lebih besar, dan mengembalikan aset terkait.

Dalam kasus ini, KPK sudah tiga kali memanggil Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito sebagai saksi untuk Bowo. Namun, Enggar tidak pernah mendatangi gedung KPK.

Nama Enggar terseret karena diduga sebagai pihak pemberi gratifikasi terhadap Bowo. KPK juga sempat menggeledah ruang kerja Enggar di kantor Kemendag. Pada Senin (29/4), Enggar membantah dugaan terhadapnya. "Dari saya yakin betul tidak ada. Dia dari Golkar, saya dari Nasdem," kata Enggar.

photo
Terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP Markus Nari meninggalkan ruangan usai mengikuti sidang dakwaan di Gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/8).

Markus Nari

Pada hari yang sama, JPU KPK juga mendakwa politikus Golkar Markus Nari dalam kasus yang berbeda. Mantan anggota Komisi II DPR itu disebut menerima uang 1,4 juta dolar AS dari proyek pengadaan KTP elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

"Terdakwa Markus Nari melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya terdakwa sebesar 1,4 juta dolar AS," kata jaksa KPK Ahmad Burhanudin di ruang sidang PN Tipikor, Jakarta, Rabu (14/8).

Markus disebut ikut memengaruhi proses penganggaran dan pengadaan paket penerapan KTP-el secara nasional tahun anggaran 2011-2013. Pada awal 2012, Markus merupakan anggota Banggar DPR yang membahas pengusulan penganggaran kembali proyek KTP-el, yaitu Rp 1,04 triliun.

Jaksa menyatakan, Markus menemui direktur jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri saat itu, Irman (terpidana kasus yang sama). Saat itu Markus meminta upah (fee) proyek KTP-el sebesar Rp 5 miliar. Irman kemudian menghubungi pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemendagri, Sugiharto (terpidana kasus yang sama), agar segera memenuhi permintaan tersebut.

Sugiharto kemudian bertemu salah seorang anggota konsorsium proyek, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo (terpidana KTP-el), dan meminta Rp 5 miliar. Selang beberapa hari, Anang kemudian menyerahkan 400 ribu dolar AS kepada Sugiharto.

Dalam kasus ini, Markus juga didakwa merintangi penyidikan kasus KTP-el. Jaksa menilai Markus meminta Miryam S Haryani (tersangka) selaku mantan anggota Komisi II DPR memberikan keterangan yang tidak benar dalam sidang. "Terdakwa sengaja membujuk orang lain untuk tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar sebagai saksi," kata jaksa.

Markus diduga meminta tangan kanannya, Anton Tofik, datang ke kantor pengacara Miryam S Haryani, Elza Syarif. Pasalnya, dalam BAP Miryam, Markus disebut menerima 400 ribu dolar AS.

Pada 17 Maret 2017 sekitar pukul 14.00 WIB, Markus menemui Miryam di kantor PT Mata Group di Gedung Multika, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Markus meminta Miryam mencabut keterangannya yang menyatakan Markus menerima sejumlah uang dalam perkara KTP-el.

Pada 23 Maret 2017, Miryam dihadirkan JPU sebagai saksi dalam sidang Irman dan Sugiharto. Miryam menyatakan mencabut keterangan dalam BAP mengenai aliran dana proyek KTP-el, termasuk penerimaan oleh Markus. Pada 5 April 2017, Miryam kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena memberikan keterangan yang tidak benar. n dian fath risalah, ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement