REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai pembacaan ikrar oleh mantan keluarga besar Harokah Islam, eks-Darul Islam/Tentara Islam Indonesia-Negara Islam Indonesia (DI/TII-NII) kurang bermakna. Ia juga melihat pelaksanaan pembacaan ikrar tersebut sebagai aksi panggung khas Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, sejak dulu.
"Saya melihat ini sebagai aksi panggung khas Pak Wiranto. Dari dulu di zaman Soeharto, beliau ini kan sukanya yang model-model deklarasi begini. Padahal semua tahu, aksi-aksi seperti ini sangat kecil efektivitasnya," ujar Khairul kepada Republika melalui aplikasi pesan singkat, Selasa (13/8).
Ia mengatakan, deklarasi-deklarasi serupa dilakukan Wiranto sejak era Orde Baru hingga saat ini. Pada Orde Baru ia melakukan deklarasi gerakan disiplin nasional. Kemudian Pam Swakarsa di jaman Presiden Habibie dan sekarang deklarasi setia pada Pancasila dan NKRI.
"Jadi saya lebih melihat deklarasi ini sebagai panggung Pak Wiranto ketimbang sebuah tonggak pengakuan kesetiaan pada Pancasila dan NKRI sebagaimana disebutkan," jelas dia.
Ia berkata seperti itu karena melihat banyaknya faksi pada eks maupun simpatisan DI/TII. Menurutnya lagi, tidak semua dari faksi itu masih dapat dikategorikan sebagai ancaman lagi.
"Nah, yang deklarasi hari ini masuk yang mana? Selain itu kita juga tahu, belakangan ini tema Pancasila dan NKRI sedang ngetren dan menjadi topik yang banyak diangkat eliet politik, terutama di lingkungan pemerintahan, bersama isu radikalisme dan khilafah," kata dia.
Ia pun menilai, pembacaan ikrar ini tidak begitu penting jika tanpa dibarengi aksi konkret yang positif, baik dari pemerintah, eks-DI/TII, maupun masyarakat luas. Khairul juga mempertanyakan seberapa signifikan pengaruh pembacaan ikrar yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tua itu terhadap generasi di bawahnya.
"Kalau kita lihat konteks hari ini, akan seberapa signifikan pengaruh deklarasi tokoh-tokoh tua itu terhadap generasi-generasi yang jauh lebih muda, atau bahkan yang tidak beririsan langsung dengan eksistensi DI/TII?" ungkap dia.
Sarjono Kartosuwiryo, anak dari Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang merupakan tokoh utama Gerakan DI/TII, menjadi salah satu tokoh yang membacakan ikrar di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (13/8). Sarjono memimpin pembacaan ikrar dengan diikuti sejumlah eks-Harokah Islam Indonesia, eks-DI/TII, dan eks Negara Islam Indonesia (NII) yang hadir pada kesempatan itu.
Mereka di antaranya Aceng Mi'raj Mujahidin Sibaweh, yakni putra imam DI/TII terakhir, H Yudi Muhammad Aulia (cucu pendiri KH Yusuf Taujiri dan Prof Anwar Musaddad, pendiri DI/TII). Kemudian, KH Dadang Fathurrahman, cucu dari Syaikhona Baddruzzaman yang merupakan guru Kartosuwiryo, Imam Sibaweh, Prof Mussadad, dan KH Yusuf Taujiri.
Setelah pembacaan ikrar, para eks-simpatisan Harokah Islam Indonesia, DI/TII, dan NII itu menandatangani ikrar, serta mencium Sang Saka Merah Putih. Wiranto menyampaikan rasa haru sekaligus rasa bangganya terhadap para eks-Harokah Islam Indonesia, DI/TII, dan NII, yang sadar bahwa persatuan dan kesatuan bangsa sangatlah penting.
"Untuk itulah teman-teman telah berikrar, menandatangani ikrar, dan mencium bendera merah putih sebagai simbol bahwa mereka sadar satu-satunya ideologi di NKRI adalah Pancasila," katanya.
Menko Polhukam Wiranto menyampaikan apresiasi dari Presiden RI Joko Widodo atas kesadaran, keikhlasan, dan kesediaan para eks-Harokah Islam Indonesia, DI/TII, dan NII untuk berikrar setia kepada Pancasila dan NKRI. Hanya dengan persatuan dan kesatuan, kata Wiranto, bangsa Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain.
Wiranto menyebutkan ideologi gerakan DI/TII merupakan embrio gerakan radikal di Indonesia. Ideologi menetang Pancasila diyakini hingga kini tetap berkembang. Namun, Wiranto menyatakan, rasa bahagia dan bangganya karena menjelang peringatan proklamasi kemerdekaan RI, para eks-Harokah Islam Indonesia, DI/TII, NII sadar untuk kembali memperkuat NKRI.