REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Anggota Komisi VI DPR RI 2014-2019 dari Fraksi PDI Perjuangan I Nyoman Dhamantra sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait dengan pengurusan izin impor bawang putih pada 2019. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama lima orang lainnya setelah tangkap tangan terhadap 13 orang pada Rabu (7/8) malam hingga Kamis (8/8) siang.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan enam orang sebagai tersangka," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Kamis (8/8) malam.
Lima tersangka lainnya, yakni Mirawati Basri selaku orang kepercayaan I Nyoman Dhamantra; serta empat pihak swasta: Elviyanto, Chandry Suanda alias Afung, Doddy Wahyudi, dan Zulfikar. Mirawati dan Elviyanto diduga sebagai penerima suap bersama I Nyoman, sedangkan tiga pihak swasta lain diduga sebagai pemberi suap.
Agus menuturkan, Afung merupakan pemilik PT Cahaya Sakti Agro (PT CSA) yang bergerak di bidang pertanian. Penyidik menduga Afung memiliki kepentingan dalam mendapatkan kuota impor bawang putih dalam perkara ini.
Selanjutnya, Afung dan Doddy diduga bekerjasama untuk mengurus izin impor bawang putih untuk tahun 2019. Sebelumnya, Doddy sudah menawarkan bantuan dan menyampaikan memiliki “jalur lain” untuk mengurus Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementrian Perdagangan.
Lantaran proses pengurusan yang tidak kunjung selesai, Doddy berusaha mencari kenalan yang bisa menghubungkannya dengan pihak-pihak yang dapat membantu pengurusan RIPH dan SPI tersebut. "Doddy lalu berkenalan dengan Zulfikar yang memiliki kolega-kolega yang dianggap berpengaruh untuk pengurusan izin tersebut," tutur Agus.
Perkenalan dilakukan karena Zulfikar memiliki koneksi dengan Mirawati dan Elviyanto pihak swasta yang diketahui dekat dengan I Nyoman. Setelah itu, Doddy, Zulfikar, Mirawati, dan I Nyoman melakukan serangkaian pertemuan untuk pembahasan pengurusan perizinan impor bawang putih dan kesepakatan fee.
Dari pertemuan-pertemuan tersebut muncul permintaan fee dari I Nyoman melalui Mirawati. Angka yang disepakati pada awalnya adalah Rp 3,6 miliar dan commitment fee Rp 1.700 sampai Rp 1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor.
Biaya komitmen atau commitment fee tersebut akan digunakan untuk mengurus perizinan kuota impor 20 ribu ton bawang putih untuk beberapa perusahaan, termasuk perusahaan yang dimiliki oleh Afung. Karena perusahaan-perusahaan yang membeli kuota dari Afung belum memberikan pembayaran, Afung tidak memiliki uang untuk membayar commitment fee tersebut.
Untuk itu, Afung meminta bantuan Zulfikar memberi pinjaman. Penyidik menduga Zulfikar akan mendapatkan bunga dari pinjaman yang diberikan, yaitu Rp 100 juta per bulan. Selain itu, jika impor terealisasi maka Zulfikar akan mendapatkan bagian Rp 50 untuk setiap kilogram bawang putih tersebut.
Dari pinjaman Rp 3,6 miliar tersebut, telah direalisasi sebesar Rp 2,1 miliar. Setelah menyepakati metode penyerahan, Zulfikar mentransfer Rp 2,1 miliar ke Doddy pada 7 Agustus 2019 sekitar pukul 14.00 siang.
"Kemudian Doddy mentransfer Rp 2 miliar ke rekening kasir money changer milik I Nyoman. Uang sejumlah Rp 2 miliar tersebut direncanakan untuk digunakan mengurus SPI," terang Agus.
Sedangkan Rp 100 juta masih berada di rekening Doddy yang akan digunakan untuk operasional pengurusan izin. Saat ini, KPK sudah memblokir semua rekening tersebut.
"Diduga uang Rp 2 miliar yang ditransfer melalui rekening adalah uang untuk mengunci kuota impor yang diurus. Dalam kasus ini teridentifikasi istilah lock quota," tambah Agus.
Atas perbuatannya, sebagai pihak yang diduga pemberi, Afung, Doddu dan Zulfikar, disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara sebagai pihak yang diduga penerima, I Nyoman, Mirawati dan Elvianto disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.