Kamis 08 Aug 2019 05:30 WIB

Ikapi: Buku Perguruan Tinggi Paling Banyak Dibajak

Ikapi mendapati buku-buku bajakan untuk perguruan tinggi marak dijual di marketplace.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Reiny Dwinanda
Ketua Umum IKAPI Rosdiyanti Rozalina (kanan) memberikan paparan saat kunjungan ke Kantor Republika, Jakarta, Rabu (7/8).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum IKAPI Rosdiyanti Rozalina (kanan) memberikan paparan saat kunjungan ke Kantor Republika, Jakarta, Rabu (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buku-buku perguruan tinggi paling banyak dibajak oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Penjualan buku-buku tersebut bahkan marak dilakukan di beberapa marketplace.

Meski penjualan secara daring itu ditutup, tetapi keesokannya tumbuh lagi. Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Pusat, Rosidayati Rozalina, mengaku sering menerima aduan dari penerbit soal pembajakan buku, terutama buku untuk mahasiswa, yang banyak dijual di marketplace.

Baca Juga

"Beberapa penerbit menyampaikan ke kami, lalu kami sampaikan kepada marketplace," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (7/8).

Setelah menerima aduan Ikapi, menurut Rosidayati, marketplace tersebut memang menutup akun-akun penjual buku bajakan. Akan tetapi, kejadiannya terus berulang.

Menurut Rosidayati, perlu strategi khusus yang berkelanjutan agar penjualan buku bajakan secara daring bisa betul-betul disetop.Rosidayati mengatakan, jumlah buku bajakan yang dijual secara daring mencapai ribuan eksemplar.

"Umumnya itu buku perguruan tinggi dan angkanya sudah fantastis juga, makin ke sini makin besar jumlahnya," ungkapnya.

Rosidayati mengungkapkan, Erlangga, Salemba, dan Rajagrafindo Persada termasuk di antara penerbit yang melaporkan kasus penjualan buku terbitannya yang dibajak. Buku-buku terbitan mereka dijual dengan murah dan masif di marketplace.

"Ya buku-buku untuk mata kuliah, buku perguruan tinggi, karena kan biasanya tebal-tebal, dan harganya lumayan (tinggi)," tuturnya.

Ikapi juga menyayangkan masih adanya penggandaan buku-buku perguruan tinggi di lingkungan kampus. Penggandaan buku untuk keperluan pendidikan, menurut Rosidayati, bukanlah alasan yang dapat diterima karena tindakan tersebut justru membatasi hak yang seharusnya diterima penulis.

"Penggandaan buku, difotokopi. Itu kan kasihan penciptanya enggak dapat kompensasi, padahal karyanya dia kan. Kami akan carikan solusi, misalnya ada diskon dari penerbit atau seperti apa. Solusinya jangan sampai separuh-separuh, tapi betul-betul harus komprehensif," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement