Selasa 06 Aug 2019 16:33 WIB

Romi: Pengabdian, Kesetiaan, dan Perjuangan Disabilitas

Lama kelamaan malah banyak hikmah yang dipetik dari kondisi yang ia alami.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Agus Yulianto
Drg. Romi Syofpa Ismael menangis saat memberikan keterangan pers sebelum menemui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Drg. Romi Syofpa Ismael menangis saat memberikan keterangan pers sebelum menemui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di Jakarta, Rabu (31/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Romi Syofpa Ismael (33 tahun) bertugas sebagaimana dokter gigi biasa di Puskesmas Talunan, Kecamatan Sangir Balai Janggo sejak 2015. Saat itu, Ami --begitu ia akrab disapa--melayani pasien di Puskesmas Talunan dengan status Pegawai Tidak Tetap dari Kementerian Kesehatan RI. Ami mengambil kesempatan tersebut karena di Talunan memang membutuhkan tenaga dokter gigi. Ami tahu daerah tersebut berada di tempat terpencil di wilayah Kabupaten Solok Selatan yang notabene masih tergolong daerah tertinggal.

Ketika itu Ami sudah berstatus telah menikah dan punya satu putri bernama Natania. Keadaan Ami berubah begitu ia melahirkan seorang putra bernama Almer tahun 2016. Usai melahirkan Almer, Ami mengalami Paraplegia. Yaitu penyakit kelumpuhan yang mempengaruhi sebagian tubuh manusia. Bagian lumpuh di tubuh Ami adalah di bagian tungkai kakinya.

"Kalau di awal-awal memang kondisi Ami sulit. Sempat down karena mengalami tingkat stress yang tinggi dengan kondisi ini (lumpuh)," kata Ami, Selasa (6/8). 

Ketika baru mengalami Paraplegia, pernah terbersit di pikiran Ami untuk menyerah dengan keadaan. Ia berpikir berhenti menjadi dokter gigi. Bisikan negatif dari pikirannya itu justru terusir berkat sang suami, Februarmy (33).

Femi--begitu sapaan akrab Februarmy--dengan sabar dan setia mendampingi Ami berjuang untuk pulih. Sejak awal, Femi memang bertekad tidak pernah meninggalkan bahkan menyia-nyiakan Ami. Malahan Femi pernah diminta Ami untuk pergi mencari wanita lain yang bisa merawat suami sebagaimana mestinya.

Tapi, Femi memilih untuk tetap berada di samping Ami. Istri yang ia nikahi sejak 2011 lalu. Ketika sudah memungkinkan, Femi meyakinkan Ami untuk kembali beraktivitas menjadi dokter gigi. Sesuai dengan cita-cita Ami sejak lama yaitu menjadi dokter mengobati masyarakat.

Sejak kondisi Ami tidak bisa ditinggalkan, Femi juga mengorbankan pekerjaanya. Ketika Ami belum mengalami Paraplegia, Femi bekerja sebagai wiraswasta. Ia berjualan emas di Teluk Kuantan, Provinsi Riau. Sebelum Ami lumpuh, Femi harus bolak balik dari Teluk Kuantan ke Solok Selatan. Femi yang memang berasal dari keluarga wirausaha akhirnya merelakan dulu sementara waktu pekerjaannya demi mendampingi Ami yang sedang dalam situasi sulit.

Dari 2016 sampai 2017, Ami tinggal di rumah kontrakan yang lokasinya berjarak tempuh selama 15 menit dari Puskesmas Talunan. Setiap hari, Femi harus mengantar dan menjemput sang istri dari rumah ke Puskesmas menggunakan mobil.

Sejak 2017, status pekerjaan Ami berubah dari PTT Kemenkes menjadi PTT di bawah Dinas Kesehatan Solok Selatan. Awalnya, Ami tidak mau meneruskan pekerjaanya begitu kontrak PTT Kemenkes berakhir tahun 2017. Tapi, ia luluh dan tetap meneruskan pengabdian karena di Talunan sangat membutuhkan tenaga dokter gigi.

“Jadi Ami bekerja sebagai dokter gigi di Talunan, tidak hanya sekedar mengobati dapat gaji, tapi di sana sudah menjadi bagian dari hidup Ami. Mereka semua butuh dan menerima Ami apa adanya,” cerita Ami.

Bahkan, ketika Ami minder dan takut merepotkan harus bertugas dengan kursi roda, kepala Puskesmas Talunan dan para tenaga medis di sana malah membuka diri siap membantu mendorong kursi roda Ami setiap kali diperlukan. Hal itu juga yang membuat Ami betah di Talunan. Walau dalam keadaan disabilitas, Ami tetap bisa mengaplikasikan ilmu, dan  membantu masyarakat.

Ami yang awalya mengeluhkan kondisinya yang lumpuh, lama kelamaan malah memetik banyak hikmah dari kondisi yang ia alami. Ami yang setiap hari bekerja di Puskesmas, dan beberapa kali pergi ke RSUD, sering melihat orang lain yang tidak beruntung. Seperti orang sakit yang makan harus dibantu, ada yang tidak bisa makan, tidak bisa tidur dan lain-lain akibat menderita penyakit lainnya.

Sementara Ami walau harus menggunakan kursi roda, ia masih bisa mengurus keperluan pribadi, masih bisa makan enak dan tidur normal. Terlebih, Ami punya suami yang setia mendampingi setiap hari.

“Sekarang malah bersyukur, masih bisa makan enak, tidur enak. Sementara masih banyak di luar sana orang yang tidak seberuntung Ami,” ujar Ami.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement