Senin 05 Aug 2019 05:31 WIB

Menara Gading Rektor Impor

Pemerintah tampak sudah bulat tekad mengimpor rektor

Tamsil Linrung
Foto: Ist
Tamsil Linrung

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Tamsil Linrung, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Membidani Ristek Dikti dan Anggota DPD Terpilih

Pemerintah tampak sudah bulat tekad mengimpor rektor. Tujuannya untuk memperbaiki kualitas dan mengerek peringkat perguruan tinggi di Indonesia. Rencana itu tentu tak berjalan mulus, bahkan menuai polemik. Penolakan mencuat karena kebijakan instan tersebut terkesan mengesampingkan potensi sumber daya manusia dalam negeri.

Padahal, SDM unggul anak negeri bertebaran. Tidak hanya yang berkiprah di institusi

kenamaan luar negeri dengan segala dukungan fasilitas memadai tetapi juga tersebar di pelosok nusantara dengan sokongan fasilitas dan dana seadanya. Sayang, mereka kurang mendapat perhatian. Kita seolah rabun dekat. Yang di depan mata diabaikan, malah melihat nun jauh di sana.

Urgenkah Impor Rektor?

Hingga saat ini publik masih mempertanyakan apa urgensi mengimpor rektor sehingga pemerintah terkesan sangat bersikeras merealisasikan rencana yang tidak populis tersebut. Bila tujuan impor rektor asing dilatari oleh upaya mengatrol peringkat perguruan tinggi Indonesia di kancah global berdasarkan QS World University Rankings, alasan tersebut terkesan gegabah, tidak berangkat dari kajian mendalam.

Pasalnya, peringkat universitas secara global memiliki banyak paramater antara lain reputasi akademik, rasio dosen dengan mahasiswa, publikasi riset per dosen, dosen internasional, dan mahasiswa internasional. Bila ditelaah lebih dalam, aspek akademik dan riset menempati porsi terbesar penilaian, hingga 60 persen.

Dari sini tampak bahwa riset menjadi poin yang cukup penting, menunjang bagi kampus secara institusional maupun kepada dosen secara personal. Bila melihat SDM Indonesia di bidang riset, sebetulnya kualitas peneliti kita tak kalah mumpuni, bahkan sudah diakui di tingkat dunia. Ini terkonfirmasi dari banyaknya akademisi asal Indonesia yang berkiprah di perguruan tinggi luar negeri, bahkan di posisi-posisi penting.

Pertanyaan yang mesti dijawab oleh pemerintah, mengapa talenta-talenta unggul itu tidak kembali ke Indonesia? Bila ada yang kembali, mengapa mereka kurang atau bahkan tidak diberdayakan secara optimal? Ini pertanyaan klasik, tetapi selalu relevan ditanyakan sebagai bahan koreksi bahwa kita belum cukup bisa diandalkan dalam mengelola sumber daya manusia.

Ada beberapa alasan mengapa para akademisi, peneliti, dan SDM unggul Indonesia enggan pulang kampung. Sudah rahasia umum bila riset anak-anak bangsa lebih diapresiasi di luar negeri. Di negara-negara maju, dunia riset diberi ruang berkembang amat pesat, ditopang oleh kebijakan dan anggaran melimpah.

Riset difasilitasi. Hasil-hasil riset bahkan mendapat ruang aplikasi, termasuk dijembatani

dengan industri. Hasil penelitian dan temuan tidak sekadar dipajang di rak-rak laboratorium mengisi etalase perpustakaan tetapi diserap hingga menjadi produk berdampak.

Sebaliknya, riset di negeri ini tidak diarusutamakan. Periset bahkan terkesan profesi sampingan. Padahal, dari merekalah sebuah pokok terobosan dilahirkan. Politik anggaran kita harus diakui memang belum sepenuhnya berpihak pada riset.

Kami di Komisi VII, termasuk ketika duduk di Badan Anggaran DPR, berupaya terus mendorong agar riset mendapat perhatian. Apalagi, Indonesia berambisi menjadi kampiun dalam era industri 4.0 yang tentu meniscayakan riset sebagai pangkal produk. Bahkan, kebijakan pun harus berbasis riset mendalam.

Beasiswa LPDP yang digelontorkan oleh pemerintah sejak digulirkan tujuh tahun lalu merupakan salah satu program konkret dalam mendukung riset dan pengembangan SDM. Kebetulan, kami pribadi juga aktif membidani lahirnya program ini melalui sokongan budgeting di DPR. Sejak diluncurkan, program tersebut sudah mendapatkan gelontoran dana Rp 55 triliun.

Menelan anggaran yang begitu besar mestinya output dari LPDP sudah dirasakan. Nah, sekarang kita pertanyakan, sejauh apa efektivitas program ini? Jangan sampai kita dicap tidak yakin dan percaya dengan apa yang kita lakukan kalau akhirnya harus mengimpor rektor.

Kita mestinya memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada talenta alumni LPDP, terutama mereka dari kampus ternama di luar negeri yang merupakan tenaga pendidik. Mereka dapat diandalkan untuk membangun tradisi riset, meneliti, dan menulis di jurnal-jurnal internasional dalam rangka mendorong perbaikan kualitas perguruan tinggi Indonesia.

Meski memang harus diakui bahwa menumbuhkan budaya riset tentu tidak semudah membalik telapak tangan, alumni-alumni LPDP yang kita kuliahkan ke luar ini saya kira punya kapasitas. Apalagi, mereka berangkat dengan kesadaran kuat untuk mencurahkan kontribusi bagi Indonesia melalui jalur akademis.

Pembangunan Daerah

Satu hal esensial yang mestinya mengisi relung diskursus tentang rektor impor ini adalah pemerataan kualitas pendidikan. Apalagi, komparasi kualitas perguruan tinggi yang diajukan pemerintah becermin pada kampus-kampus seperti UI, ITB, IPB, dan UGM. Semuanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Mencuat pertanyaan, jika kampus-kampus ternama itu saja sangat sulit menembus top 100 dunia, bagaimana dengan kampus-kampus di daerah, di luar Jawa? Seperti apa kualitasnya? Apakah lantas sang rektor impor diarahkan memimpin kampus di daerah? Tentu tidak. Bukan opsi bijak, bahkan tidak rasional. Pasalnya, kultur organisasi, akademik, hingga mahasiswa belum siap. Maka, isu revitalisasi internal dan pemerataan pendidikan lebih tepat kita dedahkan dibandingkan berpolemik soal impor rektor.

Coba kita tengok peringkat kampus-kampus di dalam negeri, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Ternyata, dari 10 kampus teratas menurut QS Word University Rangking 2019-2020, tak satu pun berasal dari kampus di luar Pulau Jawa. Realitas itu adalah bahan koreksi dan evaluasi. Pasalnya, pendidikan yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, dalam hal ini di Pulau Jawa, berkonsekuensi langsung pada distribusi kualitas SDM. Implikasi derivatifnya adalah pembangunan daerah berjalan jomplang.

Mengutip Francisco Marmolejo (2008) bahwa institusi pendidikan tinggi memainkan peranan penting dalam men-trigger pembangunan suatu daerah. Tidak hanya pembangunan dalam terminologi ekonomi tetapi juga bangunan sosial, kebudayaan, hingga lingkungan.

Ringkasnya, perguruan tinggi adalah mitra daerah untuk maju bersama dengan dukungan maupun kolaborasinya berbasis riset sehingga melahirkan inovasi-inovasi dalam pembangunan. Kita mengenalnya dengan konsep triple helix: pemerintah, perguruan tinggi, dan industri.

Maka, gap spasial kualitas pendidikan tinggi di Jawa dan luar Jawa yang amat curam itu merupakan problem serius. Jangan sampai upaya mendatangkan rektor asing justru makin memperlebar kesenjangan pendidikan di kota-kota besar di Jawa dengan di daerah sehingga rektor impor hanya menjadi menara gading, melambungkan beberapa kampus ke level global tetapi pemerataan kualitas kampus di daerah diabaikan. Prioritas pembangunan kualitas pendidikan kita saat ini adalah pemerataan hingga ke daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement