Senin 05 Aug 2019 04:00 WIB

Ketika Kemenristekdikti Nimbrung di Urusan Radikalisme

Radiakalisme di kampus takkan terjadi kalau nuansa akademis dijaga kondusktivitasnya.

Dwi Murdaningsih
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*

Pekan lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengungkapkan akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Tujuannya adalah untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi.

Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan Kemenristekdikti tidak akan memantau media sosial satu per satu setiap hari. Data itu sebagai pegangan jikalau diperlukan. Apabila nantinya terjadi masalah bisa dilacak melalui media sosial atau nomor teleponnya.

Masalah yang dimaksud Kemenristekdikti secara spesifik adalah hal-hal yang berkaitan dengan radikalisme. Pendataan itu dimaksudkan untuk mengetahui jaringan yang mungkin dimiliki oleh mahasiswa atau dosen tersebut.

Menristek mengatakan aktivitas mahasiswa dalam mengekespresikan diri di media sosial tidak akan diatur lebih jauh oleh Kementrian. Artinya, mahasiswa masih boleh mengekspresikan diri, mengeluarkan pendapat dan bersikap kritis di media sosial.

Gagasan Kementristekdikti ini terdengar bias di telinga penulis. Berdasarkan tupoksinya, Kemenristekdikti mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Riset menjadi tugas berat yang diemban Kemenristekdikti.

Meskipun memiliki wewenang terhadap perguruan tinggi, menurut penulis Kemenristek tidak dalam koridor untuk mendata media sosial termasuk nomor telpon, apalagi tujuannya memantau dari radikalisme. Ada beragam cara untuk bisa menghindari radikalisme di kampus. Misalnya, dengan mendukung kegiatan-kegiatan yang bersifat akademis maupun minat dan bakat.

Kecilnya dana riset dan hasil riset di perguruan tinggi seharusnya menjadi perharian lebih Kemenristekdikti. Pekan lalu, Kemenristekdikti menyoroti rendahnya tingkat inovasi di Indonesia. Kemenristekdikti meminta pemerintah daerah (Pemda) menguatkan  peran inovasi dalam program pembangunan.

Indonesia berada di peringkat 36 dalam indeks daya saing dan peringkat 85 dalam indeks inovasi global. Melihat angka ini, perlu ada upaya drastis untuk mendorong inovasi sekaligus penggunaannya hingga ke daerah.

Sayang sekali Indonesia belum mampu meningkatkan inovasi di tengah kekayaan alam dan hayatinya. Korea Selatan dan Singapura mampu menjadi negara maju karena penggunaan inovasinya.

Soal hilirisasi riset dari kalangan akademik di kampus dan industri juga masih menjadi pekerjaan rumah. Kini, kalangan industri sudah mulai menyadari akan hal tersebut. Pelan-pelan, industri sudah mulai menjalin kerja sama dengan kampus untuk hilisasi riset. Riset perguruan tinggi mulai diarahkan untuk bisa mengarah ke industri.

Misalnya industri vaksin Bio Farma yang menggandeng 11 kampus untuk mendukung industri vaksin. Hal-hal seperti ini menurut penulis perlu digencarkan. Kementristekdikti menjadi penghubung riset kampus-kampus dengan industri yang potensial. Atau bila perlu melakukan klasterisasi riset untuk industri tertentu.

Jangan sampai Kemnristeksikti sibuk mengumpulkan data namun tugas pokoknya tidak dijalankan dengan maksimal. Menurut penulis, radiakalisme di kampus tidak akan terjadi kalau nuansa akademis dijaga kondusktivitasnya. Mahasiswa disibukkan dengan hal-hal positif sehingga tidak memiliki waktu atau peluang untuk disususpi radikalisme.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement