Sabtu 03 Aug 2019 04:00 WIB

Utamakan yang Wajib dari yang Sunah

Banyak jamaah yang terluka dan terinjak-injak karena berupaya mencium hajar aswad.

M. Hafil
Foto: Republika/Daan Yahya
M. Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Ada beberapa imbauan yang sudah disampaikan oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi kepada jamaah. Imbauan itu untuk kepentingan jamaah sendiri.

Imbauan ini biasanya terkait dengan prosesi ibadah. Di mana, PPIH Arab Saudi mengimbau agar jamaah mengutamakan hal-hal yang wajib dibanding yang sunnah.

Di antaranya yaitu, soal imbauan tak mencium hajar aswad, tidak melakukan sunah tarwiyah, memilih haji tamattu, dan tidak melakukan umrah sunah sebelum puncak haji. Namun, beberapa imbauan itu tidak ditaati oleh jamaah.

Saya menghormati jamaah yang tidak mematuhi imbauan itu. Dan, PPIH Arab Saudi pun tidak bisa memaksa agar jamaah mematuhi imbauannya. Karena, ini menyangkut masalah keyakinan.

Tetapi, saya melihat imbauan dari PPIH Arab Saudi itu untuk kepentingan jamaah sendiri. Baik kepentingan kesehatan, keamanan, dan agar jamaah tidak mempersulit dirinya sendiri.

Soal imbauan  tidak melakukan sunah mencium hajar aswad, nyatanya masih banyak jamaah yang berusaha menciumnya. Padahal, dalam syariat diperbolehkan jamaah cukup melakukan isyarat mencium ke hajar aswad. Akibatnya, saya kerap menemukan di Pos Sektor Khusus, banyak jamaah yang terluka dan terinjak-injak karena berupaya mencium hajar aswad.

Menurut Konsultan Ibadah PPIH Arab Saudi Daker Makkah, KH Ahmad Wazir, hukum sunah bisa berubah menjadi haram jika hal tersebut bisa membahayakan dirinya dan membahayakan orang lain. Termasuk soal upaya mencium hajar aswad yang tentunya bisa saling sikut-sikutan dengan jamaah lain dan bisa menyakitinya.

Kemudian, soal sunah tarwiyah. Ini merupakan tapak tilas Nabi Muhammad pada 8 Dzulhijah tetapi bukan merupakan sesuatu yang wajib dalam haji.

Tetapi, banyak juga jamaah haji Indonesia yang melapor akan melakukan ibadah tarwiyah. Padahal, prosesi ibadah ini tidak difasilitasi PPIH. Karena, jarak waktu yang sangat mepet sementara wukuf yang merupakan rukun haji dilakukan pada 9 Dzulhijah. Bayangkan, menggerakkan 231 ribu jamaah haji dari Makkah ke Arafah dalam waktu sangat sempit bukan sesuatu yang mudah.

Selain itu, PPIH tak memberikan transportasi, konsumsi, pengamanan, dan pelayanan bagi jamaah yang melakukan sunah ini. Artinya, risiko ditanggung sendiri jamaah.

Juga soal pilihan haji. PPIH menganjurkan jamaah haji untuk mengerjakan haji tamattu, di mana haji dilakukan setelah jamaah selesai umrah. Artinya, setelah selesai umrah, jamaah bebas meninggalkan larangan-larangan ihram sampai menunggu puncak haji. Sementara, beberapa jamaah memilih melakukan haji ifrad.

Memang ini yang utama dan afdhol, tetapi jamaah harus siap dengan konsekwensinya. Bisa hampir sebulan setelah ihram melakoni larangan-larangan ihram. Di antaranya yaitu selalu memakai pakaian ihram, tidak boleh memotong kuku, memotong rambut, dan memakai wangi-wangian ataupun mandi dengan sabun.

Saya menemukan kasus ada jamaah sejak dua pekan lebih lalu, memilih melakukan haji ifrad. Konsekwensinya, dia harus menunggu hingga pelaksanan haji pada pekan depan. Artinya, hampir sebulan dia tidak memotong kuku, tidak mandi memakai sabun, memotong rambut, dan selalu memakai pakaian ihram. Sementara, jika mereka melanggar, mereka akan kena denda sesuai syariat.

Termasuk soal lempar jumrah. Waktu lempar jumrah yang afdhal memang di siang hari. Tetapi, pemerintah Arab Saudi sudah mengatur waktu-waktu lempar jumrah untuk negara-negara yang mengirimkan jamaah haji. Untuk jamaah haji asal Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, waktu lempar jumrah ditentukan pada malam hari.

Bukan tanpa alasan, jika jamaah haji Indonesia mengejar waktu siang hari, maka dia akan bertemu dengan jamaah asal Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, yang secara fisik lebih besar. Tetapi, dari tahun-tahun sebelumnya, ada juga jamaah Indonesia yang melakukan lempar jumrah pada waktu siang hari karena untuk mengejar keutamaan dan keafdhalannya.

Kemudian soal umrah sunah berulang. PPIH selalu mengimbau agar umrah sunah dilakukan setelah puncak haji. Tetapi, saya banyak menemukan jamaah yang sebelum puncak haji melakukan umrah sunah berulang kali agar kondisi jamaah prima menjelang dan selama puncak haji. Padahal, untuk melakukan umrah ini sangat menguras tenaga dan waktu.

Sekali lagi, saya menghargai pilihan jamaah haji. Dan, PPIH selaku wakil pemerintah Indonesia sudah berupaya mengingatkan jamaah untuk mengutamakan yang wajib ketimbang yang afdhol. Tetapi, alangkah lebih baiknya jika kita bijak menjaga kondisi kita sendiri.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement