Jumat 02 Aug 2019 09:02 WIB

Diponegoro, Ketiak Belanda:Poster Konggres Muhammadiyah 1931

Diponegoro dan Kisah Sebuah Poster Konggres Muhammadiyah 1931

Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah da surban, ketika beristirahat bersama pasukannya di bantaran sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.
Foto: Pinterest.com
Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah da surban, ketika beristirahat bersama pasukannya di bantaran sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Apalah arti gambar dan lambang? Apalah gunanya itu? Yang penting isi, bukan bungkus luarnya! Pertanyaan ini tengah bersliweran dijagat wacana Indonesia. Entah lucu, konyol, atau naif, namun itulah kenyataannya.

Memang bagi orang moderen, untuk menjawabnya harus pakai analisa keren ala kajian seminar seperti kajian semiotika, hermenutika, dan istilah ‘mumet’ lainnya. Padhal dalam pandangan orang biasa istilahnya sederhana saja: Apa tafsir dan makna sebuah gambar. (makna dan tafsir itu bahasa Arab lho, bukan bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Nusantara lainnya).

Ya orang hari ini memang tengah sibuk mematut diri dengan apa yang disebut sebagai kata canggih:’Lokal Wisdom’. Padahal intinya sederhana saja, mereka coba mendinisikan ulang posisinya dirinya. Padahal sebenarnya dia tengah terkena ‘wahan akut’, yakni  Islamophobia. Semua hal yang berbau Islam itu dikatakan budaya Arab. Budaya Arab identik dengan perpecahan, kekerasan, dan teroris. Logika aneh dan manyun!

Contoh islamophobia sudah lama dibahas. Dan sejak ada semenjak masa kolonial. Bahkan, pertarungan wacana ini sudah terjadi sejak masa awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang niat awalnya hanya berdagang, tapi kemudian menjajah dengan disemangati kredo ‘Gold, Glory. dan Gospel’.

‘’Bangsa Eropa kala itu datang ke Nusantara harus menerima kenyataan, bangsa ajaran Islam sudah ada di sini terlebih dahulu. Maka perlawanan kepada mereka pun muncul,’’ kata Budayawan dan Guru Besar Politik, DR Salim Said, dalam sebuah perbincangan di Taman Ismail Marzuki, beberpa tahun silam. Saat itu Salim menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Maka, jangan aneh misalnya di masa Orde Lama dan Orde Baru kemudian berusaha mencari lambang atau ekpresi jati diri yang lain. Elit politik Indonesia, sejak zaman kemerdekaan memang didikan sekolah dengan model kurikulum Eropa.

Maka tak heran dari dahulu mereka ‘menisbatkan’ ide Indonesia ke budaya Eropa kontinental maupun daratan. Yang paling jelas misalnya dalam soal bentuk negara pengin ‘kayak’ model Amerika atau Rusia yang federal yang digagas Bung Hatta itu. Ide ini ditolak oleh Sukarno dan para pengikut sidang BPUPKI kala itu.

Maka jangan heran muncul burung Garuda sebagai lambang negara yang itu mirip lambang ‘elang bondol’-nya negara Amerika atau kata Bhineka Tunggal Ika yang mirip slogan 'Unity and Deversity'-nya Amerika juga. Atau juga menyebut gedung bergaya kura-kura di MPR/DPR sebagai 'Garha Paramasabdha' biar terkesan antik dan berjati diri Nusantara karena memakai bahasa Sansekerta padahal bahasa itu asal India. Uniknya klaim ini tak sejalan dengan kata MPR dan DPR itu sendiri karena nyata-nyata bahasa Arab, yakni kata ''dewan', 'wakil', 'rakyat'.

Dan kesan berkiblat kepada barat (Amerika Cs) terlihat kental semakin bila melihat omongan diskusi ‘orang pintar’ masa kini yang sedikit-dikit membandingkan ‘kalau di Amerika seperti ini, di Prancis seperti itu). Cara berbahasanya pun campur-sampur sudah Indonesia-English kayak 'tuan kompeni' yang penuh dengan 'Whicis, so, baithewei' dan gaya tosss tangan ketika bertemu temannya.

Lihat saja juga soal bentuk cara mengatur negara. Gaya pemilu, model pilihan langsung yang katanya paling demokrasi, atau berbagai hal lainnya mereka selalu bandingkan dari sana. Acuan, bahkan footnote dari barat dan barat. Seolah seperti yang berulangkali dikatakan budayawan Radhar Pancadahana: Indonesia layaknya sebuah bangsa yang tak punya ‘elan’ atau pengalaman bijak model mengatur hidup sendiri. Padahal dari dulu kala mereka sudah punya cara hidup mengatur masyarkatnya tersendiri.

Gambar mungkin berisi: 1 orang, teks

Contoh nyata ini misalnya dari nuansa sebuah poster Konggres Muhammadiyah pada tahun 1931 itu (lihat poter konggres Muhammadiyah di atas). Ada fakta ‘role model’ yang diwujudkan dalam poster untuk konggres itu yang diekpresikan melalui gambar sosok Pangeran Diponegoro. Bayangkan itu, tak ada sosok model helai bunga padma, atau lambang lain yang mirip senjata cakranya Krisna dalam Mahabarata, layaknya gambar lambang masa kini.

Terlihat jelas tiupan semangat perjuangan dalam poster itu. Apalagi diketahui lewat ormas dan organisasi pergerakan Islam, sosok Diponegoro yang muncul kembali dalam kurun 50 tahun dari wafatnya. Kala itu, mulai awal 1900-an, seiring dengan munculnya pergerakan Islam seperti Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam sosok Diponegoro pun muncul kembali. Semangat ini pun diambil Persyarikatan Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Semua tahu, sekalipun Ahmad Dahlan mendirikan ormas sendiri, dia pun punya hubungan sangat dekat dengan Sarekat Islam dan Budi Utomo.

Apa reaksi terhadap bangkitnya ‘girah’ perjuangan  Islam yang saat itu ditampilkan melalui sosok poster Pangeran Diponegoro? Jawabnya, penguasa atau pemerintah Kolonial Belanda mulai pusing kepala. Mereka mencermatinya secara ketat, sebab semenjak ada organisasi pergerakan Islam itu berbagai poster dan gambar sang pengobar perang Jawa (1825-1830) muncul kembali.

Alhasil, kisah perjuangan Diponegoro yang seperti hilang tertelan bumi bangkit dan tersebar melalui perbincangan rapat organisasi itu (kala itu belum ada media sosial lho). Dan dari perbincangan itu kemudian mulai tersebar ke tengah publik dari mulut ke mulut tak melalui institusi negara atau lewat kurikulum pendidikan yang kala itu dikuasai ideologi kolonial.

Maka kalau sekaring publik Indonesia lagi sibuk berpolemik soal kebaya, serban, jubah, kode, anti Arab, Wahabi, Taliban, dan lain-lain, pertanyaannya adalah: bangsa ini sekarang maju apa mundur? Dan kini makin seru, sebab di media sosial viral sebuah foto anggota pasukan perdamaian PBB asal Indonesia yang berjilbab. Publik pun hiruk pikuk mengomentari dari yang nyinyir sampai mendukung.

Jadi sekali bangsa ini maju apa mundur sih? Leluhur dan para pendiri bangsa kok sepertinya tidak begitu! Atau jangan-jangan memang benar bila situasi Indonesia hari ini persis apa yang diomongkan isteri HOS Cokroaminoto ketika berdialog larut malam dengan para 'murid' suaminya ruang tengah kediamannya. Kala itu dia omong pendek terkait soal girah kebangsaan, keagamaan, dan sosok Pangeran Diponegoro:

"Sejak kekalahan Dipinegoro, priyayi Jawa tidur di ketiak Belanda," katanya.

Ya mungkin kini bangsa ini tengah tidur kayak polah elit masa lalu itu?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement