REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mengalami defisit kian parah, menjadi beban yang harus diselesaikan pemerintah. BPJS Kesehatan dipandang telah dikelola dengan kurang tepat, sehingga terus menerus mengalami defisit anggaran.
Pengamat dari Universitas Krisnadwipayana, Abdullah Sumrahadi menilai harus ada perbaikan total terkait pengelolaan anggaran BPJS Kesehatan, untuk mengantisipasi defisit yang semakin besar. Ia mengingatkan prinsip dasar BPJS Kesehatan ialah asuransi sosial, yang berbasis gotong-royong.
Maka, menurut dia, sudah seharusnya basis kegotong-royongan itulah dijadikan standar dalam memberikan pelayanan. Apabila sekarang ditemukan defisit yang jumlahnya besar dan pemerintah memberikan indikasi untuk dapat dinaikkan nilai iurannya itu merupakan kelaziman dari prinsip itu.
Namun, bukan hanya sekedar menaikkan iuran. Abdullah Sumrahadi juga menekankan perlunya juga asas-asas tentang keterbukaan atau transparansi publik. "Penanganan atas hal ini tidak dapat dengan sekadar business as usual, tetapi harus berani keluar dari belenggu itu," tegas Abdullah Sumrahadi kepada wartawan, Rabu (31/7).
Ia tetap menyambut baik usulan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang memberi solusi, dengan menaikan iuran. Tetapi, ia berharap, ada kebijakan melihat rekam historis yang terdahulu, bahwa sudah pernah dinaikkan dan tetap defisit.
Karena itu, menurut dia, diperlukan penanganan yang fundamental revolusioner atas masalah ini, bukan hanya sekedar menaikkan iuran. Keterbukaan informasi pengelolaan hingga menyalurkan ke pihak yang lebih tepat sasaran menjadi alternatif lain, memperkecil defisit anggaran BPJS Kesehatan.
"Solusi lainnya, selain menaikan iuran, perlu disimak juga semua model bisnis yang tengah dikembangkan untuk memutar anggaran BPJS. Disamping tetap pengelolaan harus dikembalikan ke ruh utama BPJS yakni yang sifatnya sosial," terangnya.
Terkait dengan keterlibatan pemerintah daerah (Pemda), ia sepakat melibatkan pemda bisa jadi sebuah terobosan baru. Tetapi, lebih jauh dari itu sebaiknya hadapkan kembali visi dan tujuan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Program JKN ini, menurut dia, merupakan amanah konstitusi. Maka alangkah lebih baik dilakukan proses amandemen, memang memakan waktu lama, namun bisa menjadi solusi untuk jangka panjang.
"Jadi semua pihak akan melihat dan dipahamkan secara sadar bahwa BPJS kesehatan logic order-nya bukan bisnis semata, tetapi memberikan nilai lebih, memberi kesejahteraan dan perlindungan sebagai bentuk nyata keberpihakan negara kepada rakyatnya," papar dia.
Pemerintah akhirnya setuju untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan keputusan itu diambil pemerintah saat rapat terbatas terkait defisit BPJS Kesehatan di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/7).
"Kemarin ada beberapa hal yang dibahas dan prinsipnya kita setuju. Namun perlu pembahasan lebih lanjut, pertama, kita setuju untuk menaikkan iuran," ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (30/7).
Namun, JK mengatakan, pemerintah belum menentukan besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Sebagai informasi, iuran BPJS Kesehatan untuk ruang perawatan kelas III sebesar Rp 25 ribu per orang, Kelas II sebesar Rp 51 ribu, dan kelas I sebesar Rp 80 ribu.
"Tapi berapa naiknya, nanti dibahas oleh tim teknis, nanti akan dilaporkan pada rapat berikutnya," ujar JK.