Kamis 01 Aug 2019 09:18 WIB

Motif Kejahatan Kasus Novel yang Hadir Mendahului Pelaku

Kapolri membentuk Tim Teknis kasus Novel Baswedan menindaklanjuti rekomendasi TPF.

Novel Baswedan
Novel Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Sudah dua tahun lebih kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan telah berlalu. Sejak peristiwa penyiraman air keras oleh orang tak dikenal seusai shalat subuh berjamaah 11 April 2017 di kawasan tempat tinggalnya di Kelapa Gading terjadi, hingga kini jalan Novel menuju keadilan malah bisa dibilang bertambah gelap. Polisi belum juga berhasil menangkap pelaku lapangan, meski para penjahat telah meninggalkan jejak abadi bagi Novel, yakni rusak permanennya mata kiri sang penyidik senior KPK itu.

Belum lama ini, Dewan Pakar Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian telah selesai bertugas dari masa kerja selama enam bulan. Jangankan menemukan aktor intelektual di belakang peristiwa penyerangan terhadap Novel, pelaku lapangan pun tak mampu diungkap oleh Dewan Pakar TPF yang berisi oleh orang-orang terpilih itu.

Dewan Pakar TPF dinilai malah memojokkan Novel lewat hasil investigasinya. Tanpa bisa mengungkap siapa pelaku penyerangan, TPF menduga, penyerangan yang dilakukan pelaku terhadap Novel dilatarbelakangi oleh dendam. Setidaknya ada enam kasus high profile yang ditangani oleh Novel yang diyakini TPF berpotensi menimbulkan serangan balik atau balas dendam karena adanya dugaan penggunaan kewenangan secara berlebihan oleh Novel selaku penyidik KPK.

Simpulan Dewan Pakar TPF itu memang bisa dibilang aneh sekaligus menjungkirbalikkan logika. Bagaimana TPF bisa menyimpulkan motif penyerangan terhadap Novel tanpa lebih dulu mengetahui pelaku penyerangan? Apakah keterangan saksi-saksi cukup untuk membuat simpulan premis bahwa Novel diserang lantaran dia menggunakan kewenangan yang berlebihan?

Mari kita beranalogi. Dalam suatu kasus pembunuhan apalagi pembunuhan berencana, sudah bisa dipastikan ada motif pelaku melakukan pembunuhan tersebut. Motif itu tidak mungkin bisa didapat penyidik sebelum diketahui atau setidaknya ditemukan petunjuk yang mengarah pada suatu tersangka pembunuhan. Penyidik kemudian menangkap, menginterogasi hingga diketahui motif pelaku adalah balas dendam akibat sakit hati terhadap korban, mengincar harta si korban, cemburu terhadap korban, atau motif-motif lain.

Sehingga pertanyaannya, dari mana Dewan Pakar TPF mendapatkan petunjuk sehingga bisa mengetahui motif pelaku penyerangan terhadap Novel adalah balas dendam apalagi TPF sampai bisa menyimpulkan Novel telah menggunakan kewenangan berlebih saat menyidik kasus-kasus ‘big fish’ KPK?  Apakah kerja Dewan Pakar TPF layaknya drama serial Criminal Minds di mana investigator setara dengan kemampuan penyidik FBI yang bisa melakukan masuk ke dalam pikiran pelaku kejahatan lewat teknik profiling canggih?

Pimpinan KPK keberatan dengan simpulan Dewan Pakar TPF, Wadah Pegawai KPK pun tidak bisa menerima hasil investigasi TPF bentukan Tito yang laporannya mencapai tebal 2.700 halaman itu. Adapun, Novel dengan singkat merespons simpulan hasil kerja enam bulan TPF dengan satu kata, “Ngawur”.

Koalisi masyarakat sipil yang selama ini di belakang Novel, tetap mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Tim Gabungan Pencara Fakta (TGPF) yang bersifat independen. Sejak awal, mereka memang meragukan hasil kerja Dewan Pakar TPF yang sebagian besar anggotanya adalah penasihat Kapolri atau setidaknya teraifilasi dengan Kompolnas.

Amnesty International bahkan sampai membawa kasus Novel ke Kongres Amerika Serikat (AS) dengan definisi laporannya menyebutkan kasus Novel bukan kejahatan biasa, namun juga sebagai pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Amnesty berharap AS bisa berperan dalam rangka pengungkapan pelaku penyerang Novel.

Jokowi merespons desakan publik dengan memberikan tenggat tiga bulan untuk mengungkap kasus Novel setelah Dewan Pakar TPF berakhir masa tugasnya. Kapolri kemudian membentuk Tim Teknis guna menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan TPF.

Disamping simpulan ‘ngawur’, Dewan Pakar TPF memang merekomendasikan kepada Kapolri untuk membentuk Tim Teknis  dengan kemampuan yang spesifik, yang tidak dimiliki oleh TPF. Kemudian, TPF juga meminta tim nantinya dapat mendalami siapa orang pada 5 April 2017 mendatangi rumah Novel di Jakarta Utara. Serta dua orang tidak dikenal yang pada tanggal 10 April 2017 sedang duduk-duduk di masjid yang mana esok harinya menjadi TKP penyiraman air keras.

Pekan ini, Mabes Polri mengumumkan peresmian pembentukan Tim Teknis. Tak tanggung-tanggung, tim itu berisi 90 penyidik yang kerjanya dipimpin langsung oleh Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Polisi Idham Aziz. Dan seperti benang kusut, kompleksitas kasus Novel ini tergambar dari langkah awal Tim Teknis yang bisa dibilang mundur ke belakang yang sudah pernah dilakukan oleh penyidik Polda Metro Jaya; memulai lagi olah tempat kejadian perkara di mana Novel disiram air keras.

Presiden Jokowi sepertinya bukan tanpa dasar memberikan tenggat tiga bulan kepada Kapolri. Seperti hitungan jeli Wadah Pegawai KPK, tenggat itu akan berakhir tepat sehari sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2019. Jika Kapolri lewat Tim Teknisnya tidak juga berhasil mengungkap dahulu setidaknya pelaku lapangan penyerang Novel, bisa jadi pelantikan Jokowi akan dihantui beban kegagalan penegakan hukum dan HAM yang selama ini tidak hanya disorot di dalam negeri tapi juga oleh dunia internasional.

*penulis adalah jurnalis Republika

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement