Selasa 30 Jul 2019 20:28 WIB

Pengamat: Dasar Hukum Koopsus TNI Perlu Diperjelas

Dasar hukum Koopsus TNI saat ini dinilai masih abu-abu.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Pasukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI berfoto seusai peresmian pasukan tersebut di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa Selasa (30/7).
Foto: Republika/Prayogi
Pasukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI berfoto seusai peresmian pasukan tersebut di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa Selasa (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, dasar hukum perbantuan Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI harus diatur melalui peraturan perundang-undangan. Selama ini, menurutnya dasar hukum untuk itu masih abu-abu.

"Menurut saya, agenda berikutnya adalah pemerintah segera merumuskan soal tugas perbantuan TNI ini dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sekurang-kurangnya berupa peraturan pemerintah, syukur jika bisa segera dalam bentuk Undang-Undang (UU)," ujar Khairul melalui keterangan tertulisnya, Selasa (30/7).

Baca Juga

Menurut dia, aturan main yang ada mengatakan, partisipasi TNI dalam penegakan keamanan dalam negeri, bersifat perbantuan alias diundang. Penjuru untuk urusan ini adalah Polri. Maka, TNI baru bisa berangkat jika ada permintaan untuk itu.

Pada Perpres 42/2019 disebutkan, Koopsus dibentuk dalam rangka mendukung tugas pokok TNI. Tugas pokok tersebut diatur dalam UU 34/2004 pasal 7 (2) huruf b tentang operasi militer selain perang. Masalahnya, kata dia, tugas itu jelas-jelas bersentuhan dengan UU  2/2002 pasal 13.

Pasal tersenut menyebutkan, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan rincian disebut pada pasal selanjutnya, adalah tugas pokok Polri. "Walaupun sebenarnya tugas TNI tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 7 (3) dinyatakan dilaksanakan berdasar kebijakan dan keputusan politik negara, namun menurut saya persentuhan tugas tersebut memerlukan adanya pengaturan yang jelas dan rigid," jelas dia.

Khairul mengatakan, sejauh ini, urusan perbantuan pada Polri masih mengandalkan kearifan Kapolri, bisikan tetangga, dan arahan dari pejabat senior. Dasar hukum untuk itu, ia nilai juga masih abu-abu karena tidak ada ukuran, indikator, parameter, atau apapun yang bisa menunjukkan kapan dan dalam situasi seperti apa TNI bisa diperbantukan atau dimintai bantuan.

"Nota Kesepahaman antara Panglima TNI dan Kapolri juga tak cukup jelas merinci urusan ini. Itu pun masih harus kita imbuhi catatan, jika nota kesepahaman dapat disebut sebagai payung hukum," ujarnya.

Namun, ia juga menyebutkan, perumusan terkait hal itu harus dilakukan cermat dan hati-hati. Satu yang perlu diingat, yakni salah satu alasan pemisahan Polri dari TNI adalah untuk memastikan criminal justice system bisa berjalan sebagaimana mestinya.

"Memiliki demarkasi yang jelas dengan angkatan bersenjata dan menjamin tegaknya prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi," tutur dia.

Tanpa itu semua, Khairul khawatir gelaran Koopssus TNI malah menjadi potensi benturan baru antara TNI dan Polri dalam urusan keamanan dan pengamanan. Ia menyebutkan, gerak cepat pembentukan Koopsus TNI ini menunjukkan ada ambisi kuat untuk segera operasional.

"Kita juga paham, sulit membayangkan patriotisme dan heroisme militer hadir tanpa antusiasme tinggi dan kepeloporan. Saya khawatir jika tak segera diatur, itu akan membawa kita pada situasi yang buruk," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement