Selasa 30 Jul 2019 18:51 WIB

'Lebih Baik Mati daripada Tinggalkan Tanah Nenek Moyang'

Satu pekan saja kawasan ditutup ekonomi warga terganggu, apalagi setahun.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah anak bermain di dermaga Pulau Rinca, Kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (ilustrasi)
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Sejumlah anak bermain di dermaga Pulau Rinca, Kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana penutupan taman nasional ini tampaknya mendapat berbagai tentangan dari banyak pihak, terutama masyarakat. Selama ini perekonomian masyarakat di Pulau Komodo bergantung pada wisata di pulau ini. Menurut Usman Ahmad (45 tahun), warga Kampung Komodo, sekitar 80 persen warga sudah tidak lagi mencari penghasilan sebagai nelayan, dan menggantungkan hidup mereka dari wisata.

"Masyarakat di sini sangat tidak setuju kawasan ditutup. Satu minggu saja kawasan ditutup, ekonomi kita terganggu, apalagi setahun," kata Usman yang sudah bekerja sebagai pemandu wisata di Pulau Komodo selama 20 tahun.

Baca Juga

Kepada Republika.co.id, Usman menuturkan bahwa masyarakat telah sejak lama hidup turun temurun di Pulau tersebut. Awalnya nenek moyang mereka berburu komodo, namun sejak adanya konservasi dan pengelolaan oleh taman nasional, masyarakat pun ikut menjaga habitat kawasan.

Masyarakat pun mengkritik wacana relokasi Pemprov yang dinilai tidak mempertimbangkan pendapat mereka. Apalagi hingga saat ini Gubernur NTT Viktor Laiskodat tidak pernah bertemu langsung dengan masyarakat di sana untuk membahas hal ini sejak Laiskodat menjabat pada 2018 lalu. Hal ini rupanya membuat masyarakat sangat resah.

"Gubernur tidak pernah bertatapan dengan masyarakat, kita cuma dengar isunya saja. Kami lebih baik mati daripada meninggalkan tanah nenek moyang kami," ungkapnya.

Ahli Konservasi Institut Pertanian Bogor (IPB) Haryanto Putro mengatakan, relokasi yang dilakukan dengan paksaan pasti menimbulkan gejolak serta mendapatkan kecaman dari banyak pihak. "Relokasi kalau dilakukan secara sukarela tanpa paksaan mungkin memberikan nilai tambah bagi konservasi dan pengembangan wisata alam, cuma siapa yang akan dapat manfaat?" ujar Haryanto.

Dia menjelaskan, dalam mengatasi permasalahan demografi, dibutuhkan mekanisme. Perlu adanya kajian dan pertimbangan mendalam mengenai bagaimana pengaturan yang pas dan dapat ditegakkan untuk mengatasi masalah demografi tersebut.

"Ditutup itu tujuannya apa sebenarnya, dan apa yang dikerjakan selama penutupan dan kaitan dengan relokasi bagi saya masih gelap," kata Haryanto.

Sebelumnya Wakil Gubernur (Wagub) Nusa Tenggara Timur (NTT) Josef A Nae Soi mengatakan akan tetap menutup kawasan wisata Pulau Komodo, sekalipun ada pihak yang menolak rencana tersebut. "Penutupan kawasan wisata Pulau Komodo sudah final mulai diberlakukan pada 2020," kata Wagub NTT Josef A Nae Soi kepada wartawan di Kupang, Senin (29/7).

Nae Soi juga menegaskan rencana pemprov untuk melakukan relokasi permukiman. Dia menjelaskan, pemerintah NTT menggunakan prinsip dimensi fleksibilitas dalam penanganan warga dengan mengacu pada beberapa opsi.

Pertama, apakah manusia dikeluarkan dari Pulau Komodo atau tetap mengizinkan warga bermukim dalam kawasan pulau itu dengan jaminan konservasi tetap dilakukan. Kedua, mengeluarkan warga di Pulau Komodo secara bertahap ke pulau kosong lainnya di NTT.

"Apabila kita menginginkan hewan Komodo menjadi liar dalam habitat aslinya, maka tentu tidak boleh ada permukiman penduduk dalam kawasan itu," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement