REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak pengelola Taman Nasional Komodo akan melakukan kajian terkait aspek sosial, budaya dan ekologis taman nasional, menyusul rencana Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menutup kawasan itu pada 2020. Rencana penutupan kawasan tersebut diklaim oleh Pemprov demi penataan habitat, disertai dengan upaya untuk relokasi pemukiman warga dari pulau tersebut.
Namun, menurut Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Lukita Awang, upaya konservasi telah dilakukan secara terus menerus dan sejauh ini populasi komodo masih stabil. "Pengelolaan kawasan kan selalu dilakukan. Data komodo itu rentang stabilnya 2.000 hingga 3.000 ekor di kawasan taman nasional. Data 2018 ada sekitar 2.800 ekor komodo," ujar Lukita Awang kepada Republika.co.id, Selasa (30/7).
Menurut Awang, untuk penutupan suatu kawasan konservasi diperlukan kajian secara komprehensif. Misalnya ada bencana alam seperti yang terjadi di Taman Nasional Gunung Rinjani, adanya kebakaran hutan atau gangguan terhadap populasi serta habitatnya.
Konservasi dalam kawasan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi yakni zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Sejauh ini, konservasi yang dilakukan sudah berjalan optimal, dibuktikan dengan stabilnya populasi komodo.
Adapun terkait dengan masyarakat sekitar, menurut Awang, masyarakat telah hidup berdampingan dengan komodo sejak lama. "Ada harmoni antara manusia, masyarakat, dengan habitatnya disitu, dengan spesiesnya," kata Awang.
Untuk itu, juga diperlukan kajian secara mendalam mengenai wacana relokasi permukiman. Awal Agustus ini tim terpadu yang terdiri atas banyak pakar dan akademisi, akan turun untuk mengkaji fakta lapangan.
"Selama ini mereka masih mengkaji berdasarkan data yang kita laporkan. Kami menunggu tim terpadu ini untuk melakukan kajian terkait dengan aspek sosial, budaya, dan ekologinya," ujar Awang.