REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir berencana mendatangkan rektor dari luar negeri ke universitas di Indonesia. Ia mengatakan, rektor asing rencananya akan dicoba mulai tahun depan untuk melihat bagaimana dampaknya kepada pendidikan tinggi di Indonesia.
Rencana mendatangkan rektor asing ini menuai kontroversi dari berbagai pihak. Sejumlah rektor yang saat ini menjabat menilai Indonesia belum siap untuk menerima rektor dari luar negeri. Sebab, masih banyak hal urusan kelembagaan yang bermasalah di perguruan tinggi saat ini.
"Ini bukan jalan satu-satunya. Ini adalah alternatif yang saya ambil pada saat ini. Dan kita coba bandingkan pada 2020-2024 kalau ada rektor asing dampaknya apa yang terjadi," kata Nasir kepada wartawan, Selasa (30/7).
Ia mengatakan, saat ini banyak negara yang sudah mendatangkan ilmuwan-ilmuwan asing untuk memimpin perguruan tinggi di negaranya. Ia mencontohkan di Arab Saudi universitas yang sebelumnya berada pada ranking di bawah 800 kini menjadi ranking 120-an. Selain itu, hal serupa juga dilakukan di Singapura, Taiwan, dan Hongkong.
"Negara lain telah melakukan ini dan mendapatkan dampak positif. Kita kan masih takut," kata Nasir lagi.
Mantan Rektor Universitas Diponegoro ini mengatakan, saat ini hanya ada tiga universitas di Indonesia yang berada pada ranking 500 besar. Oleh sebab itu, untuk menjadikan Indonesia berada pada universitas kelas dunia perlu meniru negara-negara yang telah berhasil mendatangkan rektor asing untuk memajukan pendidikan tinggi mereka.
Saat ini, pihaknya sedang memperbaiki regulasi terkait mendatangkan rektor asing. Hal ini dilakukan agar nantinya ketika sudah ada rektor asing yang datang, ia bisa memimpin perguruan tinggi dengan lancar tanpa ada masalah berkaitan dengan peraturan,.
Sementara itu, Praktisi pendidikan Edy Suandi Hamid meminta agar pemerintah mengkaji lebih dalam terkait rencana mendatangkan rektor asing. Sebab, menurut dia masalah yang ada di universitas tidak akan langsung selesai dengan mendatangkan rektor asing.
"Ibaratnya kita melihat itu ada tikus di lumbung padi, padinya dibakar. Berlebihan jadinya," kata Edy pada Republika.
Ia menjelaskan, sebenarnya Indonesia memiliki cukup orang untuk menjadi rektor. Namun, saat ini memang banyak keluhan soal rektor yang tidak mumpuni. Menurut dia, rektor yang tidak mumpuni tersebut muncul karena perekrutan rektor yang tidak baik.
Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini mengatakan, seharusnya memperbaiki pola perekrutan rektor. Tidak hanya perguruan tinggi di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), namun juga perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama.
Ia menilai selama ini intervensi birokrasi perekrutan rektor terlalu besar. Hal inilah, menurut Edy yang menyebabkan muncul rektor-rektor yang tidak memiliki kualifikasi yang baik.
Menurut dia, sebaiknya pemilihan rektor diserahkan kepada lembaga senat universitas. Sebab, lembaga senat pemerintah adalah pihak yang paling mengetahui kondisi orang-orang yang ada di perguruan tinggi.
Pemerintah pusat seharusnya hanya membuat peraturan dan mengawasi. Saat ini pemilihan rektor terlalu banyak dicampuri oleh pemerintah pusat. "Jakarta mana tahu kondisi lokal di Aceh sana, katakanlah. Paling dengar omongan orang-orang. Tapi kalau orangnya punya kepentingan kan informasinya sesat," kata Edy.
Meskipun demikian, menurut dia, rektor asing memang umum dilakukan di negara lain. Namun, baiknya Indonesia berhati-hati karena banyak pertimbangan yang harus dilakukan terkait perekrutan rektor asing.