Selasa 30 Jul 2019 16:34 WIB

PKS Setuju Eks Koruptor Dilarang Maju di Pilkada

PKS mendorong agar ada penurunan syarat koalisi pengusung di revisi UU Pilkada.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
Politisi PKS, Mardani Ali Sera
Foto: Republika TV/Surya Dinata
Politisi PKS, Mardani Ali Sera

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menyatakan, fraksi PKS mendukung agar dilakukannya revisi Undang-Undang Pilkada yang melarang eks koruptor untuk mencalonkan diri di Pilkada.

Mardani berharap, kasus Bupati Kudus M Tamzil yang kembali ditangkap KPK atas kasus suap menjadi pelajaran agar UU melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagail calon kepala daerah. "Revisi UU Pilkada adalah sebuah keniscayaan," kata Mardani saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (30/7).

Baca Juga

Permintaan revisi itu muncul dari berbagai pihak saat Bupati Kudus M Tamzil yang merupakan eks koruptor kembali ditangkap KPK. M Tamzil sudah pernah terlibat kasus korupsi dana bantuan saran dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004. Lalu ia bebas pada 2015.

Namun, pada 2018 ia terpilih kembali sebagai bupati. Hal ini pun disayangkan oleh sejumlah pihak, terutama KPU dan KPK yang meminta agar UU Pilkada direvisi.

Mardani mengatakan, pelarangan pencalonan kepala daerah eks koruptor ini bertujuan untuk memberikan edukasi pada publik. Menurut dia, perlu ada pendekatan khusus agar masyarakat tidak memilih kembali calon eks koruptor.

Maka itu, lanjut Mardani, revisi UU Pilkada adalah suatu keharusan. "Solusi demand nya pada edukasi publik. Perlu ada pendekatan khusus agar rakyat cerdas. Banyak napi koruptor terpilih kembali karena edukasi pemilih belum berjalan. Demokrasi perlu masyarakat cerdas," ujar dia.

Bukan hanya memasukkan poin larangan koruptor, Mardani menambahkan, Fraksi PKS juga mendorong agar ada penurunan syarat koalisi pengusung sebanyak 20 persen. Syarat itu dinilai terlalu tinggi. Mardani pun mengajukan syarat 5 persen. "Ide 5 persen syarat daftar Pilkada saya ajukan agar tidak ada 'kawin paksa' untuk syarat 20 persen," ujar Mardani.

Kawin paksa yang dimaksud Mardani yakni adanya pemasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dari partai yang memiliki Ideologi bersebrangan demi memenuhi syarat 20 persen. Hal ini menyebabkan kepala daerah dan wakilnya tidak satu visi.

"Lima persen memudahkan pasangam mendaftar dglengan wakil yang dipilih secara sukarela. Hingga saat ini 67 persen walikota dan bupati atau Gubernur pisah pada periode kedua karena tdk se visi. 5 persen juga bermakna akan banyak pasangan dan baik bagi masyarakat," ujar Mardani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement