REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Sapto Andika Candra, Rr Laeny Sulistyawati
Pemerintah akhirnya setuju untuk menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan keputusan itu diambil pemerintah saat rapat terbatas terkait defisit BPJS Kesehatan di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/7).
"Kemarin ada beberapa hal yang dibahas dan prinsipnya kita setuju. Namun perlu pembahasan lebih lanjut, pertama, kita setuju untuk menaikkan iuran," ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (30/7).
Namun, JK mengatakan, pemerintah belum menentukan besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Sebagai informasi, iuran BPJS Kesehatan untuk ruang perawatan kelas III sebesar Rp 25 ribu per orang, Kelas II sebesar Rp 51 ribu, dan kelas I sebesar Rp 80 ribu.
"Tapi berapa naiknya, nanti dibahas oleh tim teknis, nanti akan dilaporkan pada rapat berikutnya," ujar JK.
JK melanjutkan, poin yang disetujui lainnya adalah perbaikan dalam manajemen BPJS Kesehatan. Menurut JK, Presiden Joko Widodo (Jokowi) setuju ada perbaikan dalam manajemen, khususnya sistem kontrol BPJS Kesehatan.
Sementara, poin ketiga yakni pemerintah setuju jika kontrol BPJS Kesehatan melibatkan pemerintah daerah (pemda). JK beralasan, tidak mungkin BPJS Kesehatan mengontrol lebih dari 200 juta peserta.
Dengan begitu, pemda diharapkan berperan dalam mengontrol pelayanan maupun persoalan BPJS Kesehatan di wilayahnya masing. "Harus didaerahkan, didesentralisasi supaya rentan kendalinya, supaya 2.500 yang melayani BPJS bisa dibina, diawasi oleh Gubernur Bupati setempat, sehingga sistemnya lebih dekat, orang lebih mudah melayani masyarakat," ujar JK.
JK meyakini, dengan beberapa poin tersebut, akan mampu menekan defisit anggaran BPJS Kesehatan yang diperkirakan membengkak hingga Rp 28 Triliun tersebut. "Itu empat hal yang disetujui kemarin, yang akan distudi lagi jumlah-jumlahnya, cara-caranya, berapa besarnya iurannya. Tapi setuju naik, besarannya nanti dibahas," ujar JK.
Presiden Jokowi kemarin memanggil Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris, ke Istana pada Senin (29/7). Selain Fachmi, Presiden juga memanggil sejumlah menteri terkait seperti Menteri Kesehatan Nila Moeloek, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Salah satu isu yang dibahas presiden adalah perkembangan kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang mengalami defisit antara biaya pelayanan kesehatan dan besaran iuran peserta. BPJS Kesehatan diprediksi akan tekor hingga Rp 28 triliun akhir 2019 ini.
"Kita ketahui tentang missmatch antara pendapatan dan belanja. Langkah-langkah apa untuk menyelesaikan ini. Begini, pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan, itu saja sebetulnya," jelas Fachmi di Istana Negara, Senin (29/7).
Penyebabnya, biaya yang dikeluarkan lembaga ini untuk menanggung pelayanan kesehatan jauh lebih tinggi ketimbang besaran iuran yang dikumpulkan dari peserta. Dengan kata lain, jumlah iuran yang dibayarkan peserta lebih kecil daripada nilai aktuaria atau perkiraan nilai iuran sesuai hitungan matematis.
Defisit BPJS Kesehatan pada 2019 juga membengkak dibandingkan dua tahun lalu yang nilainya sekitar Rp 9 triliun. Menurut Fachmi, BPJS akan tetap melakukan pembenahan seluruh sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Salah satu ganjalan yang dialami BPJS Kesehatan, jelasnya, adalah banyaknya peserta yang baru mendaftar setelah mendapat diagnosis penyakit tertentu. Fachmi menyebutkan bahwa kondisi ini membuat BPJS dan pemerintah harus memikirkan cara agar ruang kepesertaan lebih luas.
"Intinya ini diselesaikan, sementara itu kita punya mekanisme di supply chain financing, yang rumah sakit akan menjaga cash flow-nya," katanya.
Defisit berulang
BPJS Kesehatan memprediksi bakal mengalami defisit anggaran hingga Rp 28 triliun pada akhir 2019. Prediksi tersebut diperoleh berdasarkan total besaran iuran yang diterima perseroan dikurangi dengan biaya pelayanan kesehatan para peserta.
Selain itu, BPJS Kesehatan belum membayar klaim rumah sakit sebesar Rp 9,1 triliun untuk periode 2018. Sementara, pada 2019, defisit BPJS mencapai Rp 19 triliun. Tak hanya itu, utang klaim rumah sakit yang jatuh tempo per tanggal 14 Juli 2019 sebesar Rp 6,5 triliun.
Persoalan defisit BPJS Kesehatan ini adalah kejadian berulang. Pada 2014, saat program ini mulai berjalan, terjadi defisit keuangan sebesar Rp 3,3 triliun. Pada 2015, defisit melonjak menjadi Rp 5,7 triliun, lalu Rp 9,7 triliun pada 2016 dan Rp 9,75 triliun pada 2017.
Pemerintah terus menyuntikkan dana untuk menalangi defisit tersebut. Pada 2015, pemerintah menyuntik BPJS Kesehatan sebesar Rp 5 triliun, kemudian Rp 6,9 triliun pada 2016. Pada 2017, suntikan dananya sebesar Rp 3,7 triliun.
Pada akhir tahun lalu, BPJS Kesehatan mengungkap defisit senilai Rp 16,5 triliun. Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan pencairan dana cadangan program JKN sebesar Rp 4,993 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan meninjau capaian kinerja BPJS Kesehatan semester I 2019 dan proyeksi hingga akhir tahun. Pihaknya menegaskan, bakal memeriksa secara mendetail sumber-sumber yang menyumbangkan defisit kepada perseroan.
Ia menyampaikan, hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap BPJS Kesehatan telah disampaikan kepada Kementerian Keuangan. Hasil tersebut akan menjadi dasar pemerintah dalam menangani masalah BPJS Kesehatan.
"Berbagai macam sumber yang menyumbangkan defisit akan kita terus periksa. Kita tidak ingin hanya melakukan pembayaran defisit, tapi lebih kepada fundamental perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional yang berkelanjutan," kata Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta, Senin (22/7) malam.
Tekornya BPJS Kesehatan