REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris, ke istana pada Senin (29/7). Selain Fachmi, Presiden juga memanggil sejumlah menteri terkait seperti Menteri Kesehatan Nila Moeloek, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Salah satu isu yang dibahas presiden adalah perkembangan kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang mengalami defisit antara biaya pelayanan kesehatan dan besaran iuran peserta. "Kita ketahui tentang missmatch antara pendapatan dan belanja. Langkah-langkah apa untuk menyelesaikan ini. Begini, pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan, itu aja sebetulnya," jelas Fachmi di Istana Negara, Senin (29/7).
BPJS Kesehatan diprediksi akan tekor hingga Rp 28 triliun akhir 2019 ini. Penyebabnya, biaya yang dikeluarkan lembaga ini untuk menanggung pelayanan kesehatan jauh lebih tinggi ketimbang besaran iuran yang dikumpulkan dari peserta.
Dengan kata lain, jumlah iuran yang dibayarkan peserta lebih kecil daripada nilai aktuaria atau perkiraan nilai iuran sesuai hitungan matematis. Defisit BPJS Kesehatan pada 2019 juga membengkak dibandingkan dua tahun lalu yang nilainya sekitar Rp 9 triliun.
Dalam pembahasan dengan Presiden Jokowi hari ini, Fachmi menambahkan, belum ada kebijakan final yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi membengkaknya defisit.
Menurut Fachmi, BPJS akan tetap melakukan pembenahan seluruh sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Salah satu ganjalan yang dialami BPJS Kesehatan, jelasnya, adalah banyaknya peserta yang baru mendaftar setelah mendapat diagnosis penyakit tertentu. Fachmi menyebutkan bahwa kondisi ini membuat BPJS dan pemerintah harus memikirkan cara agar ruang kepesertaan lebih luas. "Intinya ini diselesaikan, sementara itu kita punya mekanisme di supply chain financing, yang rumah sakit akan menjaga cash flow-nya," katanya.
Pertahankan angka iuran
Persoalan defisit yang dialami BPJS Kesehatan kemudian memunculkan spekulasi tentang kenaikan angka iuran. Kenaikan iuran sesuai nilai aktuaria diyakini mampu memangkas defisit dan menyehatkan kembali BPJS Kesehatan. Lantas apakah opsi ini diambil?
Fachmi mengungkapkan, kebijakan naik-turunnya angka iuran merupakan wewenang pemerintah. Hingga saat ini, setidaknya selepas rapat dengan Presiden siang tadi, angka iuran belum mengalami kenaikan.
Presiden, jelas Fachmi, masih akan mengumpulkan para menteri terkait dalam waktu dekat untuk membahas lagi permasalahan keuangan yang dialami BPJS Kesehatan ini.
"Belum (naik), makanya kita akan bahas lagi. Setelah ini presiden minta bahas lagi rapat tingkat menteri," kata Fachmi.
Namun di luar pembahasan soal besaran iuran, Fachmi melanjutkan, pemerintah dan BPJS Kesehatan berkomitmen agar pelayanan terhadap masyarakat tidak berhenti. Begitu pula dengan pembayaran kepada rumah sakit tetap bisa dilakukan demi menjaga arus kas.
"Ini kan dapurnya pemerintah bekerja nih, bagaimana pelayanan masyarakat tidak berhenti, rumah sakit juga tetap melayani, keterlambatan bayar ditutup dulu dengan mekanisme sSCF (supply chain financing)," kata Fachmi.
Secara sederhana, SCF merupakan bentuk kerja sama BPJS kesehatan dengan perbankan untuk pembiayaan kepada rumah sakit. Melalui mekanisme ini, rumah sakit mitra BPJS Kesehatan bisa mempercepat penerimaan pembayaran klaim kesehatan.
"Intinya rumah sakit yang kemudian akan menjaga cash flownya dapat menggunakan SCF itu," jelasnya.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek juga menyebutkan bahwa pembahasan mengenai defisit BPJS Kesehatan belum final. Presiden, jelas dia, masih memberikan sejumlah tugas untuk mengevaluasi kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Mengenai rencana kenaikan premi, Nila menyebutkan belum akan dilakukan hingga pembahasan bersama Presiden rampung dilakukan.
"Belum selesai. Nanti sama Bu Menkeu (Sri Mulyani) ya. Kita ada tugas baru dari Pak Presiden," kata Nila.