Sabtu 27 Jul 2019 05:01 WIB

Absurditas dan Kepalsuan: Era Politik Photoshop Indonesia

Politik Indonesia tetap saja absurd dan palsu kayak program photoshop

Penertiban Atribut Kampanye. Petugas Satpol PP bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat menertibkan atribut kampanye, di Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (8/3).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Penertiban Atribut Kampanye. Petugas Satpol PP bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat menertibkan atribut kampanye, di Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (8/3).

Oleh: Fitriyan Zamzami, jurnalis Republika

Ceritanya begini, Evi Apita Maya, anggota DPD terpilih Pemilu 2019 saat ini sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Persoalannya unik dan baru kali ini terjadi, pesaingnya Farouk Muhammad yang kalah suara menggugat dengan dalih potret Evi Apita yang dikirimkan untuk dipasang di surat suara kelewat cantik.

Menurut Farouk foto itu sudah dimanipulasi melebihi kewajaran dengan aplikasi komputer dan membuat Evi Apita jadi berkali lipat kecantikannya. Farouk menilai, hal itu dapat disebut sebagai pelanggaran administrasi pemilu karena melibatkan unsur-unsur manipulatif.

Jika ditarik premisnya, gugatan itu dilandasi dengan asumsi bahwa perpolitikan semestinya dijalankan apa adanya. Tak ada manipulasi, tak pakai rekayasa, jujur sejujur-jujurnya. Buat kami, para jurnalis yang sedikit banyak mengakrabi para politikus, asumsi itu menggelikan. "Jauh panggang dari api", kata orang-orang dulu.

Manipulasi citra boleh dikata salah satu senjata utama politikus Indonesia terkini. Dan ia tentunya tak semata soal citra fisik para kandidat. Ia bisa soal kadar kedekatan dengan golongan tertentu, juga sisi-sisi manusiawi yang dibuat-buat atau ditinggikan.

Menjelang pemilu, banyak yang jadi sering ke pasar tradisional meski biasanya main ke toko bergengsi. Ada yang tiba-tiba ikut panen bersama petani padahal baru sekali itu ke sawah. Ada pengusaha yang malih jadi petugas kebersihan gorong-gorong. Ada mantan jenderal yang jadi tukang becak. Ada yang jadi rajin ke masjid, pesantren, dan gereja.

Ada juga yang memoles di luar kewajaran keadaan bangsa sendiri sedemikian rupa. Bikin janji di luar kesanggupan keuangan negara, atau sebaliknya menakut-nakuti dengan kondisi yang dibuat serba menyeramkan bagi pribumi. Bilang negara baik-baik saja sembari mengabaikan banyak masalah, atau sebaliknya bicara negara sebentar lagi bubar.

Aksi manipulasi dan penggiringan opini macam begitu, tak melulu secara gamblang. Di politik, hampir segala gestur, sekecil apapun, yang ditunjukkan politikus ke publik adalah juga isyarat-isyarat tersendiri, baik untuk pemilih maupun lawan dan kawan. Lengan baju yang dilipat, peci di kepala, baju safari, gerakan tangan saat berbicara, kalimat-kalimat yang tampak seperti kelakar, pertemuan-pertemuan dan pihak yang terlibat di dalamnya. Kunjungan-kunjungan tak resmi atau jamuan makan siang.

Apakah ini kejahatan para politikus? Ndak juga.

Begini, sejak mula, demokrasi langsung memang punya cacat bawaan yang mendorong hal tersebut. Rerupa buku dan penelitian; seperti “The Myth of Rational Voter" (Bryan Chaplan, 2007), dan “Democracy for Realists" (Christopher Achen dan Larry Bartels, 2016); menyimpulkan bahwa pemilih sedianya hanya sedikit saja menjadikan kebijakan dan program yang dipaparkan kandidat dalam pemilu sebagai pertimbangan dalam memilih.

Kebanyakan pemilih, nurut sama naluri-naluri primordial masing-masing dan kesan-kesan terhadap calon bersangkutan. Hal itu adalah konsekuensi logis dari membiarkan sebagian besar orang yang sebenarnya tak paham betul soal politik dan tata kelola negara memilih langsung para wakil dan pimpinan mereka.

Dalam hal itu, persepsi jadi lebih ampuh dari fakta dan data dalam pemilu. Kesan yang bisa dihadirkan kandidat tertentu, baik soal kepribadiannya atau kecondongannya ke golongan tertentu, jadi jauh lebih manjur menentukan pilihan ketimbang berhalaman-halaman paparan rencana ekonomi mendatang atau analisis sosial-geopolitik yang canggih.

Nah, sejak demokrasi langsung dijalankan di Indonesia, para konsultan politik dan akhirnya politikus sudah mengasah betul kemampuan mereka soal ini. Politikus diarahkan secara sistematis gayanya, komentar yang harus mereka sampaikan dan intonasi menyampaikannya, cara berpakaian, gerak tubuh. Seperti pemain sepak bola yang jago, para politikus handal juga tak membuat pergerakan yang sia-sia.

Ini bukan artinya semua politikus tak punya idealisme atau sekadar cari kekuasaan. Manipulasi citra itu tak jarang juga sekadar jalan untuk menduduki kursi dan kemudian berbuat sesuatu untuk orang banyak. Semacam "necessary evil" yang sukar dihindari mereka-mereka yang serius berpolitik.

Bagaimanapun, pada akhirnya politik Indonesia adalah sebuah teater akbar. Yang kita lihat, lebih sering adalah penampilan, bukan pribadi-pribadi atau keadaan sebenarnya. Dalam gambaran besar itu, alangkah absurd bahwa seorang perempuan digugat karena meninggikan parasnya dengan aplikasi komputer, sementara yang lain melenggang dengan kepalsuan-kepalsuan dan manipulasi yang lebih elaboratif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement