Kamis 25 Jul 2019 10:15 WIB

Pertemuan Prabowo-Megawati Dinilai Sudah Diprediksi

Dedi menilai pertemuan antara Prabowo-Megawati tak aneh.

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Teguh Firmansyah
Pertemuan Megawati dengan Prabowo Subianto, Rabu (24/7).
Foto: Republika TV/Muhamad Rifani Wibisono
Pertemuan Megawati dengan Prabowo Subianto, Rabu (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mengaku telah memprediksi pertemuan antara Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ia menilai pertemuan itu tak aneh.

"Sudah diprediksi sejak dulu, artinya kalau muncul sekarang udah enggak aneh, saya sudah memperkirakan,” ujar Dedi kepada wartawan, Kamis (25/8).

Baca Juga

Dedi mengatakan, pertemuan dua tokoh nasional tersebut memang sempat 'menggemparkan' masyarakat. Namun, hal tersebut biasa terjadi di dunia politik.

"Sebenarnya cair-cair saja. Bagi saya pertemuan Ibu Mega dan Pak Prabowo biasa -biasa saja karena sebelumnya pernah mencalonkan bersama artinya enggak ada problem," katanya.

Pertemuan Prabowo dan Megawati, kata dia, sepatutnya disyukuri oleh rakyat Indonesia. Dedi pun mengimbau kepada masyarakat agar melupakan perseteruan antarpendukung carpes-cawapres di Pilpres 2019. Karena, rakyat saat ini lebih baik mengawasi kerja elite politik di eksekutif dan legislatif.

"Bagi saya baguslah, enggak ada lagi ribut-ribut urusan ideologi lagi. Pilkada juga nanti bisa bareng-bareng lagi," katanya.

Pelajaran penting bagi rakyat, kata dia, sebaiknya jangan bertengkar mati-matian ngebelain elit. "Sudah, biasa saja. Jangan percaya sama pertengkaran elit. Ini musuhannya cuma di sinetron, tapi kadang-kadang penonton terpengaruh,” katanya.

Cairnya hubungan politik antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan, kata dia, menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem politik terbuka. Politik pascareformasi, sambung Dedi, adalah politik saat tidak ada konsolidasi ideologis yang terlalu mendalam sampai ke pemilu 2014.

Perang ideologi yang terjadi di Pilpres 2019, kata dia, dimulai setelah Pilkada DKI 2019 yakni saat Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang didukung oleh PDI-P sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah oleh hukum. Ahok dianggap telah melakukan penistaan agama.

Menurut Dedi, pada Pemilu 2019 pasca-pencalonan Ahok, munculah sentimen politik agama. Ia menilai, sentimen ini kemudian dimanfaatkan untuk membentuk sebuah kubu yang menumpang partai politik sebagai kendaraan.

Hal tersebut, kata dia, menyebabkan terjadinya dua kutub politik. Tapi, yang menciptakan kutub-kutub politik justru adalah akar rumput. Sementara kondisi elite politik justru akur-akur saja satu sama lain.

Sebenarnya, kata dia, dari calon tidak ada yang mencerminkan politik aliran baik dari kubu Prabowo Sandi atau kubu Jokowi-Maruf Amin. Tapi kemasan yang dibuat oleh para pendukungnya menjadi kemasan politik aliran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement