REPUBLIKA.CO.ID,INDRAMAYU – Gagal panen (puso) yang melanda areal tanaman padi di Kabupaten Indramayu berdampak pada menurunnya produksi padi pada musim gadu kali ini. Kerugian yang dialami petani akibat kondisi itu diyakini mencapai ratusan miliar rupiah.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, Takmid menjelaskan, berdasarkan data per 24 Juli 2019, luas areal tanaman padi yang mengalami puso mencapai 5.666 hektare. Dengan produksi rata-rata yang mencapai enam ton per hektare, maka kehilangan produksi padi hingga saat ini sudah mencapai 33.996 ton atau 33.996.000 kilogram (kg).
"Jika dikalikan dengan HPP GKP (gabah kering panen) senilai Rp 4.070 per kg, maka kerugian yang dialami petani akibat puso saat ini sudah sekitar Rp 138 miliar," ucap Takmid, kepada Republika, Rabu (24/7).
Takmid mengatakan, sudah berupaya mengatasi kekeringan, di antaranya dengan menerapkan jadwal gilir giring air. Namun, banyaknya pintu air yang rusak membuat pasokan air di saluran irigasi tidak bisa sampai ke wilayah yang berada di ujung saluran.
Selain itu, Takmid mengakui, ketidakpatuhan petani dalam penerapan jadwal giring air juga menambah kondisi kekeringan yang ada. Menurutnya, masih ada petani yang menyedot air di luar jadwal ataupun membuat bobokan tanggul sehingga air sudah habis sebelum sampai ke ujung saluran.
"Saya berharap agar petani yang ada di depan (saluran irigasi) dan sudah tidak membutuhkan air yang banyak agar bisa legowo melepas air hingga air bisa mencapai ke belakang (hilir)," tutur Takmid.
Dalam kesempatan terpisah, Bupati Indramayu, Supendi, menyatakan, akan mengusulkan bantuan kepada pemerintah pusat untuk mengatasi dampak kekeringan yang dialami para petani di wilayahnya.
"Sedang diinventarisir (luas areal yang puso). Sekarang kan belum final, berapa yang kekeringan. Data masih terus berjalan," tukas Supendi.
Supendi mengungkapkan, Kabupaten Indramayu terlalu luas pertaniannya. Meski sudah ada Waduk Jatigede dan Waduk Jatiluhur, namun dengan airnya masih kurang.
"Apalagi infrastruktur irigasinya juga kurang memadai. Ada yang jebol, ada yang menyempit. Padahal jangkauan (penyaluran airnya) luas sekali," kata Supendi.
Supendi mengungkapkan, hingga saat ini kewenangan pengelolaan infrastruktur pengairan hampir semuanyaada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu, dia meminta agar kewenangan pengelolaan infrastruktur pengairan itu diserahkan kepada gubenur agar gubernur bisa cepat menanganinya.
‘’Kalau proses APBN kan lama, banyak tahapan yang harus dilalui,’’ tandas Supendi.