Senin 22 Jul 2019 10:25 WIB

Merawat Khittah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

Prodi selain keagamaan pada PTKI diharapkan melahirkan para tokoh saintis muslim.

Doktor Pendidikan Agama Islam, Suwendi.
Foto: doc ist
Doktor Pendidikan Agama Islam, Suwendi.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh : Suwendi*

Lonceng peneguhan khittah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) telah ditabuh melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan (PTK). PP yang ditandatangani Presiden per tanggal 3 Juli 2019 dan mulai diundangkan tanggal 8 Juli 2019 itu menandai babak baru sejarah PTKI untuk merekonstruksi agar khittah PTKI tetap terus terjaga dengan baik. Jika dulu menjadi “makmun” terhadap regulasi dan kebijakan kepada Kementerian Ristek-Dikti, maka melalui PP ini Kementerian Agama memiliki kewenangan untuk membenahi agar khittah PTKI tetap terjaga, terawat, dan termanifestasi dengan baik sebagaimana mestinya.

Dalam berbagai kesempatan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, seringkali mengingatkan akan khittah atau “DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)” dari PTKI, yakni kajian keislaman (Islamic studies). Khittah inilah yang membedakan antara PTKI dengan perguruan tinggi lainnya yang dibina oleh Kementerian Ristek-Dikti dan Kementerian/Lembaga lainnya, di samping memang karena alasan historis keberadaan PTKI itu sendiri.

Kini, khittah itu telah dikuatkan oleh pasal-pasal dalam PP tersebut. Pasal 1 tentang ketentuan umum, PTK disebutkan sebagai “Pendidikan tinggi yang diselenggarakan untuk mengkaji dan mengembangkan rumpun ilmu agama serta berbagai rumpun ilmu pengetahuan”.  Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa PTK dapat menyelenggarakan pendidikan profesi hanya di bidang keagamaan. Bahkan, dalam Pasal 17 disebutkan bahwa penyelenggaraan program studi di luar rumpun keilmuan agama pada PTK itu jumlahnya tidak boleh lebih banyak dari program studi rumpun ilmu agama. Intinya, memang, khittah PTKI itu adalah untuk melahirkan ahli agama Islam, baik ahli agama Islam yang menguasai terhadap disiplin ilmu-ilmu keislaman an sich maupun ahli agama Islam yang menguasai di bidang ilmu-ilmu lainnya. 

Memahami terhadap khittah ini, orientasi dan pengembangan PTKI ke depan akan lebih fokus, yang setidaknya berorientasi pada 2 (dua) hal besar. Pertama, PTKI dituntut untuk mampu menghasilkan lulusan yang mutafaqqih fiddin di bidang keislaman. Tuntutan ini untuk menjawab kelangkaan ulama dan tokoh-tokoh agama moderat yang memiliki kefasihan dalam mengakses sumber-sumber ajaran Islam dan menjadi pendamping masyarakat. Secara kelembagaan, untuk menghasilkan  kompetensi ini, prodi-prodi keagamaan pada IAIN dan UIN perlu berorientasi pada lulusan semacam itu. Di samping itu, Ma’had Aly sebagai salah satu  bentuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk menghasilkan mutafaqqih fiddin ini. 

Kedua, PTKI harus menghasilkan ahli agama Islam yang menguasai terhadap disiplin ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, seperti sains teknologi, kedokteran, sosial-humaniora, dan lain-lain. PTKI itu bukan untuk menghasilkan ahli sains teknologi, kedokteran, sosial-humaniora dan lain-lain yang tidak faham terhadap agama Islam. Kompetensi keislaman dan disiplin ilmu lainnya itu menjadi satu kesatuan. Secara kelembagaan, prodi-prodi selain keagamaan baik pada IAIN maupun UIN perlu berorientasi pada kompetensi demikian. Kompetensi ini merupakan keniscayaan sebagai bagian dari diferensiasi antara prodi-prodi selain keagamaan, antara di PTKI dengan di luar PTKI.

Jika ditamsilkan, prodi-prodi selain keagamaan pada PTKI itu akan melahirkan para tokoh saintis muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan lain-lain. Di samping memiliki kompetensi keislaman, juga mereka memiliki penguasaan mendalam di bidang ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya. 

Untuk merealisasikan atas kedua orientasi ini, dibutuhkan pencermatan tidak hanya pada proses pendidikan di PTKI, tetapi juga sejak masa perekrutan calon mahasiswa PTKI. PTKI harus berani untuk tidak menerima calon mahasiswa yang tidak memiliki kompetensi keislaman yang baik. Lagi-lagi, ini untuk menjaga dan merawat khittah PTKI untuk melahirkan ahli keislaman. Memang, ini merupakan tantangan berat bagi PTKI untuk tidak “tergoda” merekrut sebanyak-banyaknya calon mahasiswa, tetapi hanya merekrut calon mahasiswa yang memenuhi syarat semata.

SELEKSI CALON MAHASISWA

Kompetensi minimal di bidang penguasaan keislaman, apalagi hanya sekedar mampu baca tulis al-Quran (BTQ), sesungguhnya itu menjadi kompetensi yang harus dan telah diselesaikan di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan dasar dan menengah perlu melakukan evaluasi terhadap capaian-capaian akademik di bidang penguasaan minimal keislaman itu, termasuk kemampuan di bidang BTQ. Jangan sampai, menjadi beban ganda bagi PTKI, di samping untuk menyelesaikan penguasaan minimal keislaman, seperti BTQ, juga menyelesaikan tuntutan akademik kekhittahan PTKI yang memang menjadi tanggung jawabnya. Jika PTKI mendapatkan beban ganda ini, maka tentu tidak produktif, baik bagi PTKI sendiri maupun layanan pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Di samping overload beban yang harus diselesaikan oleh PTKI, juga pendidikan dasar dan menengah menjadi rapuh dalam memenuhi beban minimalnya itu.

Untuk itu, terdapat skema strategis bagi PTKI untuk merekrut calon mahasiswa yang memenuhi syarat. Pertama, melakukan afirmasi bagi lulusan Madrasah Aliyah, Pendidikan Diniyah Formal, atau lulusan SMA di lingkungan pondok pesantren yang memiliki kompetensi keislaman yang baik.

Best-practises yang telah dan hingga kini terus berlangsung adalah penyelenggaraan Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Melalui PBSB ini, kader-kader mutafaqqih fiddin yang menguasai baik pada prodi-prodi keagamaan maupun non keagamaan pada PTKI dan PTU dalam banyak kasus ternyata meraih prestasi yang gemilang. Selain itu, PTKI juga perlu melakukan afirmasi kepada para juara di bidang tafaqquh fiddin, seperti juara pada even MQK (Musabaqah Qira`atil Kutub), MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran), STQ (Seleksi Tilaqatil Quran), dan event-event keagamaan lainnya. 

Kedua,  instrumen seleksi yang digunakan dalam merekrut calon mahasiswa baru di lingkungan PTKI, dalam berbagai macam perekrutannya, dipastikan dapat menjaring calon yang memenuhi syarat minimal di bidang penguasaan keislaman. Jika secara faktualnya harus dilakukan dengan cara tatap muka atau wawancara untuk mengetahui kemampuan BTQ, maka, menurut hemat penulis, PTKI harus melakukan upaya itu. 

Ketiga, untuk merawat kemampuan akademik mahasiswa PTKI utamanya di bidang penguasaan keislaman, ada beberapa skenario yang dapat dilakukan. Pemanfaatan asrama kampus sebagai Ma’had Al-Jami’ah harus dilakukan secara intensif untuk menjaga kapabilitas akademik keislaman mahasiswa. Pola kerjasama antara PTKI dengan pondok pesantren terdekat sebagai bagian dari skema penguatan kapasitas keagamaan juga perlu dilakukan.

Bahkan, jika memungkinkan, PTKI melakukan sinergi dengan masyarakat yang memiliki tempat kontrakan dekat kampus untuk dijadikan lokus-lokus pembinaan keagamaan mahasiswa. Beberapa skema itu diarahkan terutama untuk menjaga, merawat, dan mendesiminasi penguasaan keislaman di kalangan mahasiswa PTKI.

Semoga dengan sejumlah ikhtiar di atas, PTKI mampu menjaga, merawat dan meningkatkan khittah PTKI sebagaimana semestinya.

* Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI

Doktor Pendidikan Agama Islam, Alumni UIN Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement