REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengakui potensi keterlambatan pembayaran klaim pelayanan kesehatan pada rumah sakit (RS) mitra tahun ini. Dengan keterlambatan pembayaran klaim tersebut, muncul juga kemungkinan denda pembayaran.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, keterlambatan pembayaran klaim ke rumah sakit karena BPJS Kesehatan tidak memiliki dana atau anggaran yang cukup. "Kami terlambat bayar karena uangnya memang tidak cukup, apalagi iurannya juga belum sesuai hitungan aktuaria. Jadi, kami bukannya ingin mangkir atau melakukan wanprestasi," kata Iqbal saat dihubungi Republika, Ahad (21/7).
Dalam wawancaranya dengan Republika, Jumat pekan lalu, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) berharap suntikan dana dari BPJS Kesehatan segera diberikan sebelum bulan Agustus 2019. Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Persi Daniel Budi Wibowo memperkirakan, defisit arus kas di tiap rumah sakit akan mulai menguak pada bulan depan.
"Ini terkait sudah selesainya pembayaran premi kelompok PBI (penerima bantuan iuran) oleh pemerintah sampai kewajiban bulan Desember," kata Daniel. Selain fokus menyelesaikan permasalahan defisit BPJS Kesehatan, Daniel menambahkan, masalah jangka pendek yang akan terjadi terkait cash flow juga segera dituntaskan agar defisit tidak berlarut-larut.
Menanggapi hal tersebut, Iqbal menegaskan komitmen BPJS Kesehatan untuk membayar klaim pelayanan kesehatan tertuang dalam setiap pasal perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak, yaitu fasilitas kesehatan dan BPJS kesehatan. Dalam kontrak, BPJS Kesehatan menyatakan, jika terlambat membayar ke rumah sakit maka akan terkena denda ganti rugi satu persen dari total klaim yang harus dibayarnya setiap bulan.
Dengan begitu, klaim yang harus dibayarkan bakal meningkat serta menambah defisit yang saat ini sudah membayangi BPJS Kesehatan. "Artinya, kalau banyak denda yang harus dibayarkan, BPJS Kesehatan juga rugi," ujar dia.
Ketika memiliki dana, ia menyebut BPJS Kesehatan selalu membayar klaim ke RS mitra sesuai dengan prinsip first in first out. Artinya, klaim dari fasilitas kesehatan yang lebih dulu mengajukan klaim yang akan lebih dulu dilunasi.
Untuk menghadapi masalah keterlambatan pembayaran dan defisit BPJS Kesehatan ini, Iqbal menyebut dibutuhkan solusi komprehensif. "Yaitu sesuai dengan PP 87 Tahun 2013 (tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan), juncto PP 84 Tahun 2015. Jika program ini ingin sustainable maka kebijakan PP 87 Tahun 2013 harus dilakukan," ujarnya.
Iqbal Anas menyebut, ada beberapa opsi yang disebut dalam regulasi itu. Pilihan itu di antaranya adalah, pertama, menyesuaikan iuran; kedua, menyesuaikan manfaat; dan ketiga memberikan suntikan dana.
Terlepas dari keterlambatan pembayaran klaim, Iqbal menekankan, pemerintah berkomitmen agar program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang menyentuh hajat hidup rakyat banyak bisa tetap berjalan.
BPJS Kesehatan diperkirakan akan mengalami defisit hingga Rp 28 triliun pada akhir tahun 2019. Sementara, hingga pertengahan tahun ini, fasilitas-fasilitas kesehatan yang menjadi mitra BPJS Kesehatan menyatakan masih belum mendapatkan pembayaran klaim dengan total sebesar Rp 6,5 triliun.