Jumat 19 Jul 2019 05:38 WIB

Mungkinkah BPJS Kesehatan tak Defisit?

Kenaikan premi dinilai sebagai salah satu cara untuk menekan defisit.

Rep: Arif Satrio Nugroho/Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Pegawai melayani peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor BPJS Kesehatan cabang Jakarta Selatan. ilustrasi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pegawai melayani peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor BPJS Kesehatan cabang Jakarta Selatan. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan kembali menjadi sorotan. Persoalannya sama, yakni masalah defisit yang kian melebar. Pada akhir 2019 ini defisit diperkirakan akan mencapai Rp 28 triliun.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ermalena mengatakan, suntikan dana pemerintah mau tidak mau tetap menjadi solusi jangka pendek.

Baca Juga

"Tidak ada pilihan kan? Kalau biarkan tidak disuntik lagi Bagaimana industri obat, rumah sakit utang juga kan, kalau dibiarkan utang terlalu besar lama-lama industri obatnya bisa tutup," kata Ermalena saat dihubungi, Kamis (18/7) petang.

Namun, kata Ermalena evaluasi terhadap sistem pelayanan kesehatan secara komprehensif tetap harus dilakukan. Saat ini, menurut Ermalena, Kementerian Keuangan sedang melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem pemberian layanan kesehatan yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan.

Untuk menutup defisit itu, menurut Ermalena, sejumlah alternatif terus didiskusikan. Misalnya, kenaikan premi bulanan, hingga perlunya peningkatan iuran biaya untuk penyakit penyakit katastropik, atau penyakit-penyakit yang disebabkan perilaku hidup tidak sehat "Katakanlah para perokok itu kan dia menyakiti hidupnya sendiri. Kenapa negara harus bayar?," ujar dia.

DPR sendiri, lanjut Ermalena telah melakukan pengawasan dan meminta penjelasan dari BPJS kesehatan alasan defisit tersebut.  DPR menerima penjelasan, bahwa penerima bantuan iuran (PBI) yang dibayarkan oleh negara tidak mengalami defisit.

Namun defisit itu disebabkan oleh BPJS Kesehatan yang bersifat mandiri. Peserta mandiri, kata Ermalena, kerap tidak rutin membayarkan iuran bulanan sesuai kelasnya.

"Penyebabnya, yang mandiri ini kalau dia sakit ya bayar sudah berobat kemudian berhenti, contohnya penyakit jantung jantung itu kan sampai 180 juta kemudian dia hanya beberapa kali kemudian dapat 180 juta berarti kan ada orang lain ya harus membayar, itu letaknya defisit itu di situ," ujar Ermalena.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menilai sudah semestinya pemerintah mengambil kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut.

"Salah satunya, menaikkan iuran peserta. Karena bagaimana pun, dalam hitungan aktuaria, iuran yang ada saat ini jauh dari angka rasional. Apalagi, BPJS menanggung semua jenis penyakit. Tidak ada batasan. Tentu itu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit," kata Saleh kepada Republika.co.id, Kamis (18/7).

Ia pun mendesak agar pemerintah serius menyelesaikan persoalan ini secara internal. Menurutnya harus ada tawaran solusi yang bisa disampaikan, dengan begitu, BPJS diyakini akan tetap bertahan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas mengakui selama enam tahun terakhir ditemukan sulitnya menjalankan layanan kesehatan karena tak mencukupinya iuran. Alhasil, BPJS Kesehatan menggantungkan diri pada opsi suntikan dana dari pemerintah.

"Konsep iuran belum ikuti aktuaria sehingga tidak mungkin bisa jalan dengan baik tanpa ada iuran sesuai hitungan aktuaria. Tapi kita ikut kebijakan pemerintah saja sekarang kan disuntik ya," katanya pada Republika.co.id, Kamis (18/7).

Ia menjamin pelayanan kesehatan di RS tetap berjalan walau terjadi defisit. Sebab selama ini kasus defisit sudah sering terjadi namun belum menghentikan pelayanan secara total. Menurutnya, BPJS Kesehatan masih bisa menggantungkan iuran dari peserta dengan segmentasi mampu.

"Kan di tahun keenam BPJS Kesehatan pelayanan tetap berjalan, pasien JKN tetap bisa akses layanan dan kami tetap kumpulkan iuran. Segmenetasi peserta banyak dari PNS, Polri, TNI dan swasta," ujarnya.

Kemudian dalam hal pendanaan, ia menyebut ada alternatif pendanaan untuk skala pendek berupa supply chain financing. Caranya bila BPJS gagal membayarkan piutang maka RS dapat meminta bank untuk mengambilalihnya. Lalu bank dapat memperoleh untung dari penalti bunga tiap bulan yang gagal dibayarkan BPJS Kesehatan ke RS tersebut.

"RS ajukan klaim ke BPJS, habis diverifikasi misalnya ketemu angka 1 miliar, lalu dihitung ketika jatuh temponya setelah 15 hari harus bayar ternyata BPJS gagal bayar, maka berlaku penalti bunga ke BPJS tiap sebulan, yang ambil alih invoice oleh banknya," jelasnya.

Walau begitu, ia menekankan perlunya solusi jangka panjang guna mengatasi masalah keuangan di RS akibat piutang yang terlambat dibayarkan BPJS Kesehatan.

"Kalau RS pemerintah ada peran juga dari pemda untuk bisa memastikan pelayanannya, karena ini bukan program BPJS saja tapi amanat UU yang harus dapat perhatian pemerintah," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement