Kamis 18 Jul 2019 11:15 WIB

Intelijen, Globalisasi, dan Masa Depan Negara

Intelijen Negara adalah dapur utama kehidupan Pemerintahan yang harus kuat

Yuddy Chrisnandii - Dubes Indonesia untuk Ukraina
Foto: Republika/ Wihdan
Yuddy Chrisnandii - Dubes Indonesia untuk Ukraina

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Prof.Dr.Yuddy Chrisnandi,SH,ME*


Intelijen, sebuah kata yang sangat memikat. Merangsang kita untuk ingin menelisik lebih dalam. Mendorong kita untuk membaca isi sebuah dokumen dengan label : Top Secret, Intelijen. Suatu kerahasiaan yang diungkap oleh orang-orang berkemampuan khusus, yang menarik perhatian banyak orang. Informasi Intelijen merupakan pedoman pengambilan keputusan yang sangat penting , bernuansa Strategis, resiko terendah, bahkan untuk menutupi terjadinya resiko atas kesalahan pengambilan keputusan. Sejarah perjalanan umat manusia dalam struktur kebangsaannya, dimasa lampau  sejak kegemilangan Bangsa Yunani hingga seluruh wilayahnya dikuasai oleh Romawi (146 SM ) dan perkembangan Bangsa Romawi( 753 SM-426M), keberhasilan ekspansi wilayah, penaklukan, kemenangan peperangan, suksesi kepemimpinan, ditentukan oleh perangkat Intelijennya. Aktifitas Intelijen , terus berlangsung sepanjang sejarah kebangsaan umat manusia membentuk Negara, hingga masa sekarang, menempatkan Intelijen sebagai entitas yang sangat penting bagi Negara.

Peran Intelijen Era Global

Berakhirnya perang dingin memberi format baru dalam tatanan dunia internasional dan konflik internasional yang menyertainya. Ancaman tidak lagi harus dipersepsikan secara konvensional melalui aktor negara yang mengancam negara lain melalui agresi dan aneksasi, namun juga bisa berasal dari aktor-aktor non state (negara) yang gejalanya makin terlihat belakangan ini. Sebagai contoh misalnya serangan Teroris ke twin tower WTC-Nerwyork Amerika Serikat pada 11 september 2001, serangan Bom Bali 1 dan 2 (2002-2005) yang merupakan sejarah serangan terorisme terparah di Indonesia, munculnya organisasi teroris kelas dunia Al-Qaedah ( 1988-2011) dibawah pimpinan Osamah Bin Laden dilanjutkan Ayman Al Zawahiri, merebaknya ancaman terrorisme global dari organisasi menamakan Jamiyah Islamiyah (JI, 2002) atau eksistensi ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) merebut pengaruh Negara di Iraq dan Syiria juga menebar teror di Timur Tengah, dibawah komando Abdurahman Al Bagdadi,sejak  pernyataan berdirinya 2010 hinggamengambil alih penguasaan wilayah di Mosul dan Tikrit, Iraq, sebelum akhirnya direbut kembali oleh pemerintah Iraq dengan dukungan AS pada tahun 2018, adalah sebagian fakta bahwa ancaman Negara tidak lagi simetris.

Di dunia yang makin modern saat ini, penguasaan negara oleh negara lain melalui aksi-aksi militer telah usang , ditinggalkan seiring dengan makin dipegangnya prinsip-prinsip non interference yang melekat pada kedaulatan sebuah negara (sovereign state). Dari 193 Negara yang bergabung dalam PBB (2019), hampir seluruhnya sudah menerapkan azas penyelenggaraan Pemerintahan yang Demokratis sebagai prinsip universalisme demokrasi. Dalam pandangan saya, ada 3 katagori kelompok Negara yang menamakan Demokrasi, yaitu kelompok Negara Demokrasi murni yang dimotori Amerika Serikat, Ingris, Perancis yang diikuti sebagian besar Negara dunia. Kelompok Negara Demokrasi semu (Partai tunggal) yaitu Cina, Saudi Arabia, Qatar, Korea Utara, Brunai ,Kuba dan beberapa negara di timur tengah. Kelompok Negara Demokrasi prosedural, yang di contohkan oleh Rusia, Venezuela, dan beberapa negara di timur tengah, Afrika maupun Amerika Latin. Konsekuensi dari pengakuan dan praktek universalisme demokrasi adalah semakin ditinggalkannya cara-cara perang fisik, intervensi langsung, perampasan wilayah dengan peperangan yang dilakukan suatu Negara terhadap Negara lain. Jikapun masih ada, seperti konflik Crimea antara Ukraina dan Rusia, atau konflik wilayah antara Azerbaizan dengan Armenia, atau antara Georgia dan Rusia, tidak berlangsung secara konvensional dengan cara-cara clasic di era sebelum perang dingin (cold war 1960 ). Operasi Intelijen mendahului keputusan-keputusan Negara yang terlibat dalam konflik tersebut atas target dan tujuan yang ingin dicapai untuk kemenangan sepihak. Negara sebesar Cina, Amerika, India, Rusia, tidak akan gegabah melakukan intervensi wilayah, memulai perang terbuka dengan negara lainnya. Pemerintahnya, akan melakukan telaah tindakan yang matang dari  Intelijennya.

Di luar aktor negara dan organisasi non-negara yang berpotensi menjadi ancaman, adalah individu yang tidak terorganisir, bahkan tidak memiliki motif untuk menguasai negara, namun tindakannya menjadi ancaman yang dianggap berbahaya bagi Negara. Apa yang dilakukan oleh Julian Paul Assange, jurnalis investigatif bekas wartawan Australia yang menyebarkan informasi rahasia para pemimpin dan tokoh-tokoh terkemuka dunia, yang dia dapatkan dengan penelusuran IT  yang terkenal dengan scandal WikiLeaks, yang merupakan media massa internasional yang mengungkapkan dokumen-dokumen rahasia kepada publik melalui situs webnya. Didirikan pada tahun 2006 oleh banyak  orang dari berbagai negara yang memegang rahasia yang tidak disebutkan namanya, bermarkas di Stockholm, swedia. Pada tahun2010  situs wikileaks mengungkap dokument prang Afganistan dan 400 ribu dokumen perang Iraq, serta merilis pembocoran kawat diplomatik pemerintah AS. Apa yang Assange lakukan, menurutnya sebagai sebuah ekspresi kebebasan pers untuk memberitahukan kebenaran-keterbukaan kepada publik.

Semisal yang dilakukan Edward Snowden, bekas pegawai di NSA yang dituntut pemerintah AS dengan tuduhan membocorkan rahasia negara dan melanggar Espionage Act, pada kurun waktu yang hampir sama. Edward Snowden, melakukan apa yang dituduhkan sebagai Ancaman serius terhadap keamanan nasional atas tindakannya membocorkan kepada publik berbagai dokumen rahasia operasi-operasi intelijen Amerika Serikat, dilandasi oleh motif moralitasnya yang menganggap kebijakan tersebut salah, tidak sesuai dengan perinsip-perinsip kebenaran hidupnya. Tidak ada motif untuk mendapatkan sesuatu atau menguasai sesuatu.Ia hanya ingin dikenang sebagai pahlawan.

Dan, masih begitu bannyak lagi individu-individu yang tidak se-populer keduanya yang melakukan “Ancaman” terhadap negara di berbagai belahan dunia, dengan motif yang sangat pribadi. Contoh, para Hacker melakukan kegiatan yang mengancam bahkan merusak sistem informasi keamanan negara, hanya karena benci atau iseng atau sekedar uji coba kemampuan cyber war nya menembus cyber security.  Mereka melakukan itu semua kadang tanpa disadari telah membahayakan keamanan Negara. Serangan cyber yang mendatangkan malapetaka separate NotPetya serentak menyerang sistem keamanan komputer seluruh dunia pada bulan juni 2017, merebak dari Ukraina menyebar ke negara-negara eropa hingga Amerika Serikat, bahkan masuk ke Indonesia. Yang menyebabkan kerusakan sistem data berbagai institusi bisnis di dunia, institusi sosial hingga lembaga-lembaga pemerintah. Bahkan di Ukraina, NotPetya menjebol sistem keamanan cyber Kementerian Pertahanannya. Akibatnya, semua data yang diperlukan user terkunci tidak bisa dibuka, yang pasti sangat merugikan. Sebelumnya pada 2017, serangan terhadap cyber security berskala besar menginfeksi 75.000 komputer di 99 Negara yang menuntut sejumlah tebusan oleh malware yang menamakan dirinya WannaCry, berhasil melumpuhkan lebih dari 2000 lembaga keuangan atau bisnis di berbagai belahan dunia dengan motif /ansomware.  Bahkan lembaga pemerintahan Negara Rusia (departemen dalam negeri) hingga Rumah Sakit Dharmais di Indonesia, meradang dihantam malware WannaCry. Semua itu dapat dilakukan tanpa entitas Negara, atau bentuk kelembagaan, bahkan tanpa organisasi, Individu atau setidaknya sekelompok kecil individu menjadi sebuah keniscayaan, merekalah aktornya di abad ini. Inilah realita, tantangan Negara dan Intelijen Negara diabad Milenial, menghadapi perilaku kaum milenial.

Globalisasi sebagaimana yang dikatakan David Held adalah sebuah “proses transformasi hubungan sosial yang rumit dan tidak linear yang menghasilkan berbagai jejaring antar wilayah di seluruh dunia”. Kerumitan tersebut tercermin dari seluruh aktivitas masyarakat dan negara, baik itu ekonomi, politik, cultural (kebudayaan) dan militer yang tak dapat dipisahkan dari jejaring tadi. Kerumitan lain juga terjadi karena dengan perkembangan politik, ekonomi dan terlebih-lebih teknologi dewasa ini, negara juga bukanlah satu-satunya aktor. Ada banyak aktor lainnya seperti organisasi internasional, perusahaan multi national corporation (MNC), individu dan bahkan kelompok-kelompok separatis-yang ini semua secara teoritis dapat dikatakan sebagai pemencaran kekuatan politik (centripetal).

Setiap aktor non state memiliki potensi merepotkan negara ketika langkah-langkah yang mereka ambil membahayakan keamanan sebuah negara, dan kadang mengharuskan negara bernegosiasi dungeon aktor non negara (non state). Anthoni Giddens sendiri menyebut globalisasi bukan hanya kompetisi dalam bidang ekonomi seperti yang kita saksikan dalam era perdagangan bebas, namun juga berproses dalam ranah lingkungan, dan politik serta kebudayaan seperti yang dikemukakan oleh Huntington dalam buku klasiknya “The Class of Civilitation” .

Karena itu di era globalisasi dan makin modernnya teknologi, ancaman terhadap keamanan nasional juga makin variatif yang ini tentunya menuntut penguatan kelembagaan organisasi intelijen serta pelibatan sells mungkin aktor-aktor diluar negara, untuk turut serta menjaga keamanan negara. Era ini juga mengharuskan para aparat intelijen memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang dan mampu mengendalikannya sebagai penunjang kegiatan Intelijen.

Beyond jargon-jargon normatif dan guideline fungsi tugas dan peran Lembaga atau Badan Intelijen Negara (BIN) adalah visinya yang harus ke masadepan. Memahami tantangan Global dan kelemahan-kelemahahn National yang perlu segera diatasi. Mengupayakan segera terbangunan ketahanan Nasional yang kuat diberbagai sektor non-keamanan, khususnya Ekonomi dan penguasaan IPTEK. BIN juga harus mampu membina dan mengarahkan generasi baru Indonesia yang cerdas dan berintegritas, dengan membangun saluran perannya menuju kepemimpinan nasional yang tangguh dengan semangat kolektif kegotongroyongan. BIN lebih dituntut untuk melakukan sekurangnya beberapa hal yang berguna di masa depan : Outward looking , International Outlook Network, Research & Development Intelligence , Economic & Cyber Science Technology dan mempersiapkan para canon pemimpin nasional yang berkesinambungan. Di luar segala hal yang sudah dilakukan selama ini. Di masa depan yang tidak terlalu lama, BIN  diharapkan memiliki kemampuan yang stara dengan 10 Lembaga Intelijen terbaik dunia, seperti : CIA ( Amerika Serikat), FSB ( Rusia), MOSSAD (Israel), MSS(Cina), ASIS (Australia), CSIS (Kanada), DGSE (Perancis), ISIS (Pakistan),BND ( Jerman), MI6 (Ingris).

Globalisasi dan Intelijen Negara

Lingkungan Dunia Intelijen atau intelligence environment telah berubah, demikian kesimpulan yang bisa kita ambil tentang kondisi hari ini.  Namun bukan berarti kegiatan konvensional dunia mata-mata dan tindakan spionage seperti di film-film James Bond atau Bourne telah berakhir. Tentu tidak. Beberapa skandal intelijen di berbagai negara akhir-akhir ini, seperti  upaya pembunuhan mantan agen Rusia Sergei Skripal dan anaknya Yulia di Salisbury, Inggris pada tahun 2018 lalu, berakibat ketegangan antara Inggris dan Rusia sebagai tertuduh. Kedua Negara saling usir diplomatnya, bahkan lebih jauh diikuti negara-negara Eropa sebagai solidarias kepada Inggris. Ditangkap dan dihukumnya warga negara Norwegia di Rusia atas tuduhan membocorkan rahasia kapal selam nuklir Rusia, dan serangkaian kegiatan mata-mata pada bulan desember 2017, sebagai balasan atas penahanan staf parlement Rusia yang tengah berkunjung ke Norwegia pada tahun 2014 yang ditahan dengan tuduhan mata-mata. Atau skandal agen intelijen amerika, Monica Witt pada tahun 2013 atas tuduhan membocorkan rahasia keamanan AS kepada Iran. Maupun skandal kebocoran informasi satelit Early Warning System, dan elemen-elemen utama pertahanan AS kepada Israel oleh Stewart Nozette (ilmuwan AS). Merupakan fakta bahwa, tantangan dan kemampuan intelijen konvensional masih diperlukan dan masih eksis, hanya ruang, tempat, waktu dan teknologi yang digunakannya berbeda.

Pergerakan kearah perubahan telah berlangsung beberapa puluh tahun, yang akhir-akhir ini bukan hanya semakin jelas namun juga dunia kita telah berada di fase baru, yaitu fase globalisasi. Dunia yang kita pahami sekarang tentu tidak bisa lagi mewakili gambaran konvensional, yaitu batas teritorial, namun lebih dari itu globalisasi yang ujung tombaknya ada pada pasar (market) dan teknologi informasi telah membuat batas teritorial dari waktu ke waktu semakin kabur. Globalisasi mengaburkan batas itu. Dunia cepat berubah, yang kecepatannya telah menimbulkan ketidakpastian dan bahkan mengagetkan aktor-aktor yang mendesain perubahan itu sendiri (globaliasi).

Globalisasi di dunia teknologi informasi (IT) bahkan sungguh mengagetkan dan meluluhlantakkan batas-batas teritorial. Di dunia teknologi informasi yang kita lebih akrab menyebutnya sebagai “dunia maya” atau cyber, nation state hampir tidak bereksistensi, semuanya internasionalis yang kita semua disatukan dalam komunitas besar masyarakat dunia atau “federasi dunia”. Semuanya dapat masuk, diakses, menghampiri dan mempengaruhi kita melalui internet dengan beragam media sosialnya. Tanpa pemeriksaan imigrasi dan security secara ketat, “manusia maya” dan informasinya dapat menjumpai kita, dimanapun dan kapanpun. Cukup meng-klik dan menunggu beberapa detik saja kita sudah terhubungkan dengan tempat manapun di seluruh dunia. Namun dibalik kemudahan tersebut, ancaman juga mengintai yang pengaruhnya besar bagi keamanan nasional (national security). Sebuah group cyber Attacker yang diidentifikasi Intelijen Amerika berasal dari Korea Utara, menamakan dirinya APT37 rapper, telah berhasil menggunakan malware untuk menginfiltrasi jaringan komputer Amerika Serikat. APT37, diduga sudah aktif sejak tahun 2012, dan kini sudah berata dalam tahap sebagai ancaman dunia tingkat tinggi.Diperkirakan ada sekitar 6000 orang yang terkoneksi dengan APT37, yang diduga kuat disponsori oleh pemerintah Korea Utara. Sebelumnya, kelompok ini fokus untuk memata-matai Korea Selatan, namun kemudian berkembang kemampuannya untuk mencuri data bahkan masuk kedalam sistem IT  negara-negara lainnya seperti jepang, vietnam, timur tengah, mampu mencuri data rahasia dari perusahaan-perusahaan di bidang kimia, elektronik,pabrik, penerbangan, otomotif, dan industri kesehatan. Ini adalah tantangan kekinian bagi stake holder intelijen.

Globalisasi juga menghadirkan perspektif baru dari aktor politik yang di masa lalu didominasi oleh negara. Namun hari ini aktor-aktor tersebut bisa berbentuk non state (negara) seperti Multi National Corporation (MNC), Non Governmental Organization (NGO), kelompok-kelompok separatis (teroris), kalangan usahawan besar teknologi informasi (IT) dan masih banyak lainnya, yang memiliki potensi untuk menandingi pengaruh dan kewibawaan negara sebagai penguasa tunggal di wilayah tertentu. Karena itu Negara bukanlah satu-satunya aktor yang memiliki pengaruh di era globalisasi, sebagaimana sudah dikemukan diatas.

Catatan Penutup

Jaringan dan kerjasama Internasional, lembaga Intelijen sebagai suatu keharusan yang penting untuk dikerjakan. Intelijen sudah saatnya outward looking dan International outlook, guna membangun jaringan kerja Internasional yang kuat, selaras dengan mengadopsi kemajuan dunia Intelijen berikut segala perangkat pendukungnya. Tantangan dan ancaman Negara terbesar di masa depan adalah kelangkaan sumberdaya Ekonomi, penguasaan Teknologi Informasi dan persaingan kualitas sumberdaya manusia. Intelijen dihadapkan pada medan tugas baru untuk meng-suply bahan-bahan kebijakan Pemerintah yang efektif untuk terus mencapai dan meningkatkan kemakmuran Nasional.  Badan Intelijen Negara adalah dapur utama kehidupan Pemerintahan yang harus kuat dan sukses menjalankan programnya, dengan dukungan rakyat yang besar. Intelijen adalah jembatan yang menyatukan Pemerintah dan rakyat. Memerlukan manusia-manusia tangguh yang loyal, cerdas, berwawasan luas, patriotik, yang rela bekerja tanpa lelah dalam senyap.#

*) Penulis Adalah Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional/ Dubes RI untuk Ukraina, Armenia & Georgia/Anggota Komisi 1 DPR RI periode 2004-2009.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement