REPUBLIKA.CO.ID, Pascapertemuan dua calon presiden 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, banyak yang mempertanyakan nasib tensi politik selanjutnya. Bahkan, pertemuan tersebut membuat sebagian pendukung pasangan calon nomor urut 02 kecewa.
Prabowo dinilai mengkhianati koalisi partai yang mengusungnya. Bahkan, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, sempat mempertanyakan pertemuan tersebut meski disurati Prabowo.
Akhirnya, pada Selasa (16/7) malam, Amien dan Prabowo bertemu. Pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan Prabowo yang akhirnya bersedia menemui pejawat Presiden Jokowi terjawab.
Amien usai pertemuan tersebut membela Prabowo. Bahwa, pertemuan kedua capres perlu dilakukan demi masyarakat Indonesia.
Berikut petikan wawancara Amien Rais dengan media yang dihimpun dari dua kesempatan berbeda, Ahad (14/7) dan Selasa (16/7), oleh wartawan Republika, Febrianto Adi Saputro.
Apakah benar Prabowo mengirimi Pak Amien surat pemberitahuan terkait pertemuan Jokowi-Prabowo?
Jadi saya tadi datang dari Jogja, kemudian langsung baca surat di meja saya dari Pak Prabowo. Surat itu tertanggal 12 Juli, isinya, Pak Amien, kemungkinan 13 Juli, jadi esok harinya, akan ada pertemuan dengan Pak Jokowi. Bagi saya, Pak Amien, kepentingan lebih besar, yaitu keutuhan bangsa, NKRI, itu lebih saya pentingkan.
Apa pendapat Anda terkait pertemuan kedua capres?
Saya tetap pada pendirian saya. Rekonsiliasi dalam arti bangsa utuh, enggak boleh pecah. Saya seribu persen, saya setuju tapi mbahnya setuju.
Tetapi, rekonsiliasi itu jangan sampai diwujudkan menjadi bagi-bagi kursi. Apa gunanya dulu bertanding ada dua pasangan capres-cawapres ujung-ujungnya kemudian lantas bagi-bagi? Padahal maksudnya supaya ada alternatif, ada perspektif lain yang dikerjakan pejawat itu.
Jadi, saya sampaikan, teruskan menjalin persatuan, kita bersalaman. Tapi, jangan pernah kooptasi dapat satu-dua kursi kemudian lantas kocar-kacir semua. Mengapa? Kalau demokrasi tanpa oposisi, itu demokrasi bohong-bohongan, jadi demokrasi bodong.
Apa akibatnya kalau terkooptasi dengan bagi-bagi kursi?
Jadi, demokrasi itu ada mekanisme check and balances, jadi eksekutif melangkah dengan macam-macam langkah eksekutifnya itu, lantas yang mengecek dan menyeimbangkan itu namanya parlemen. Nah, kalau parlemen sebagian besar sudah jadi tukang cap stempel atau juru bicaranya eksekutif, itu artinya lonceng kematian bagi demokrasi.
Jadi, saya ingin katakan, kita sikapi sesuatu yang amat sangat kecil lah. Masalah ini jangan dibesar-besarkan, kemudian seolah (koalisi BPN) akan pecah, akan ada huru-hara.
Itu jauh dari kamus bangsa Indonesia. Kita sudah mengalami berkali-kali lebih dahsyat. Ini ecek-eceklah. Ada (tahun) '48 (di) Madiun, ada '65 PKI. Ini enteng saja, enggak usah dibesar-besarkan.
Pesan saya, apalagi saya cuma manusia biasa, Nabi saja bersabda bahwa para nabi katakan kami hanya menyampaikan, enggak ada paksaan, apalagi cuma kita ini. Jadi, saya katakan, sebaiknya teruskan merajut Merah Putih jangan sampai pecah. Tetapi, soal kekuasaan, berikan kesempatan yang utuh ke Pak Jokowi dan Pak Ma'ruf Amin dengan menterinya.
Nanti lima tahun kita awasi dan itulah imbas demokrasi. Kalau itu terjadi, kita enggak usah ada seperti gempa bumi. Jadi, yang ngomong dunia itu seolah kursi itu sesuatu yang hebat, itu saya kira itu belum paham arti kehidupan.
Sekali lagi, saya mendukung rangkulan bersama antara semua tokoh. Cuma mewanti-wanti, jangan mencoba kemudian mengaburkan, enggak jelas lagi. Nanti kalau ada sesuatu yang kurang bagus, enggakada oposisi, sehingga demokrasi lama-lama akan berubah jadi otokrasi, jadi sistem yang otoriter.
Apa pembiacaraan Anda dengan Prabowo dalam pertemuan Selasa (17/7) malam?
Isinya adalah, pertama, bahwa pertemuan dengan Pak Jokowi 13 Juli kemarin sama sekali tidak berdiskusi, bermusyawarah, bertukar pikiran mengenai power sharing, mengenai pembagian kursi, mengenai hal-hal yang mungkin kita sangka telah terjadi. Jadi ini terkonfirmasi, tidak ada pembicaraan mengenai siapa dapat apa, bagaimana, kapan, dan sebagainya.
Jadi, hanya betul-betul pertemuan dua tokoh yang intinya supaya tidak ada lagi cebong dan kampret. Sehingga tinggal cebong bersayap, artinya sudah akur gitu.
Nah, karena itu saya lantas bertanya, whats next?
Beliau mengatakan, Pak Amien, saya sudah mengemukakan pendapat saya di Instagram. Komitmen Pak Prabowo tentang cita-cita, yang sudah dikatakan berkali-kali di dalam berbagai kesempatan pada saat kampanye sampai sekarang pun, alhamdulillah, masih istiqamah, masih konsisten.
Bagaimana bentuk rekonsiliasinya nanti?
Pak Prabowo akan mengundang Dewan Pembina Gerindra untuk musyawarah whats next tadi. Ini saya bocorkan bahwa menurut beliau yang namanya rekonsiliasi itu memang harus betul-betul objektif. Kemudian, peta ke depan lantas mapping, political map-nya itu bagaimana.
Kalau memang betul untuk kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kedaulatan air, memperkuat ketahanan bangsa, perbaikan kekuatan militer dan prokepada rakyat, proPasal 33 UUD 1945, maka semua bisa dipertimbangkan.
Kita tunggu saja hasil dari Dewan Pembina Gerindra. Sementara saya sendiri berpendapat sebaiknya memang ada oposisi yang relatif tangguh di parlemen, yaitu partai yang selama ini mendukung (koalisi) Adil Makmur.
Itu lebih indah, dan ini biasalah, politik itu come and go, jadi enggak usah lantas secara mutlak harus dipertahankan terus dibela mati-matian. Tapi, semua berjalan secara roda berputar, kekuasaan berputar, jadi ini enteng-enteng sajalah.
Saya kira itu ajalah.
Kepada relawan, jangan salah tangkap. Saya ketua Dewan Pembina BPN, jadi relawan yang saya cintai di seluruh Tanah Air, jangan terperangkap oleh hoaks, halusinasi, imajinasi yang berlebihan. Pak Prabowo yang sekarang adalah yang dulu, jadi memang ini kebesaran jiwa Pak Prabowo. Jangan pernah menyangka ada kompromi yang menggadaikan prinsip. Itu saja. (ed:agus raharjo)