REPUBLIKA.CO.ID, PANGANDARAN -- Penyelenggaraan Pangandaran International Kite Festival (PIKF) 2019 berlangsung meriah. Puluhan aneka jenis layang-layang menghiasi langit di Lapang Ketapang Doyong, Kabupaten Pangandaran, sejak Sabtu (13/7) hingga Ahad (14/7).
Sebanyak 19 negara ikut serta dalam festival itu. Bentuk layang-layang yang terbang pun beraneka ragam. Ada yang berbentuk Cepot (tokoh dalam wayang golek khas Sunda), Hanoman (tokoh dalam kisah Ramayana), ikan, boneka, kartun, dan yang lainnya.
Pada Sabtu malam, giliran layang-layang berhiaskan lampu berterbangan. Sayang, angin di Pangandaran pada malam itu tak bersahabat, sehingga layangan penuh kelap-kelip warna-warni lampu hanya mengudara untuk sesaat.
Ketua Pelaksan PIKF 2019 Kokos Soswana mengatakan, tujuan diselenggarakannya festival layang-layang internasional untuk meningkatkan seni budaya di Pangandaran, di samping meningkatkan kunjungan wisata. Dalam festival yang digelar pada Jumat-Ahad itu, terdapat banyak kegiatan seperti penerbangan layang-layang internasional, penerbangan layang-layang malam hari, lomba mewarnai layang-layang, hiburan seni budaya, hingga bersih-bersih pantai.
Menurut dia, layang-layang merupakan bagian dari kebudyaaan Pangandaran yang diwariskan nenek moyang, khususnya yang berada di pesisir pantai. Ia menceritakan, tradisi menerbangkan layang-layang dahulu sering dilakukan oleh para nelayan pada setiap Juli atau Agustus. Sebab, pada bulan-bulan itu angin laut sangat kencang berhembus.
"Jadi nelayan itu menerbangkan layangan untuk mengisi waktu luang. Daripada ke laut tak ada hasil, lebub baik menerbangkan layang-layang dan bergembira," kata dia kepada Republika.co.id Sabtu (13/7).
Awalnya, para nelayan hanya menerbangkan layang-layang yang terbuat dari daun parasit tumbuhan yang dikenal masyarakat Pangandaran dengan nama kadaka. Dari kebiasaan itu, banyak orang-orang yang mulai ikut menerbangkan layang-layang. Semakin lama, jenis layang-layang pun semakin berkembang.
Menurut dia, festival layang-layang di Pangandaran sudah ada sejak era 1990-an. Tak hanya diikuti oleh para pelayang Indonesia, festival itu juga sudah diikuti peserta luar negeri sejak lama.
Namun, ketika itu dukungan pemerintah daerah tak terlalu berarti. "Kita susah juga karena ganti pemimpin ganti kebijakan. Jadi kadang naik kadang turun. Itu jeleknya," kata dia.