Ahad 14 Jul 2019 15:27 WIB

Memahami Keindonesiaan

Radikalisme dan politik identitas apa yang sedang ditakutkan itu?

KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
Foto:

Memahami realitas Indonesia dan keindonesiaan perlu pembacaan dan analisis yang multiperspektif karena sangat tidak memadai bila dicandra hanya dengan pandangan yang sederhana dan linier atau instrumental. Sebagian ahli menyebutnya dengan perspektivisme, yakni pemahaman yang melintas batas dari segala sudut, aspek, dan pandangan secara integratif.

Kajian-kajian survei yang marak di Indonesia pascareformasi seputar politik, keragaman atau pluralisme, radikalisme, terorisme, dan persoalan atau isu lainnya yang sering disebut sebagai masalah Indonesia tentu membantu memahami keindonesiaan dan bermanfaat untuk banyak kepentingan membangun Indonesia.

Namun, penting pula memberi catatan kritis atas kajian survei tersebut, lebih-lebih manakala dikonstruksi secara dangkal, linier, dan parsial karena tidak akan memadai dalam membaca dan menjelaskan Indonesia dengan keindonesiaannya yang kompleks.

Bersamaan dengan itu, hasil-hasil survei yang terbatas itu jika dipahami secara mutlak dan tunggal maka akan melahirkan bias pemahaman tentang Indonesia dan keindonesiaan di era mutakhir. Survei hanya salah satu cara memahami masalah, bukan satu-satunya, yang memerlukan metode berpikir dan pendekatan keilmuan lainnya yang bersifat interpretatif, substantif, dan multiparadigma yang nonpositivistik.

Beragam isu masalah keindonesiaan juga menjadi naif manakala dipahami dengan alam berpikir “post-truth”. Opini “Indonesia bubar”, “bencana Indonesia”, “radikalisme Indonesia” dan segala kegawatan sejenis. Pemikiran kritis apa pun tetap terbuka pada kritik, jangan dijadikan doktrin dan dogma meski atas nama disiplin ilmu tertentu yang tertutup pada pandangan keilmuan lainnya.

Apalagi jika kebenaran sepihak dan dogmatik itu diindoktrinasikan sebagai pandangan tunggal dan absolut menyerupai keyakinan agama dan ideologi, sehingga sebagian orang menerimanya dengan taklid buta. Poltik di era “pasca-kebenaran” pun berubah menjadi sarat imaji yang liar, keras, hidup-mati, dan “true believing”.

Di era post-truth, kebenaran dikonstruksi atas dasar opini, apriori, prasangka, data bias, dan subjektivitas tertentu yang dipercayai secara mutlak. Dalam argumen Zihao (2018), di era “pasca-kebenaran” fakta objektif pengaruhnya sangat lemah dikalahkan oleh argumen emosional dan kepercayaan personal. Lebih-lebih pada era media sosial, masyarakat dengan mudah terpapar oleh informasi, opini, dan pikiran yang mentah dan hoaks yang dipercayai sebagai kebenaran tak terbantah karena hilangnya daya kritis sekaligus menyebarnya virus pembodohan.

Akibatnya, insan modern dan terdidik sekalipun kehilangan jiwa ulul albab: “Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS az-Zumar: 18).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement