REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Moda Raya Terpadu (MRT) pada Sabtu (13/7) dinilai dapat mendinginkan suhu politik nasional antar kedua belah pihak yang berhadapan saat pemilu. Pertemuan itu juga bisa membuka pintu rekonsiliasi.
"Pertemuan awal yang penuh makna. Menandakan keduanya cinta kedamaian. Dan tentu dampaknya positif. Dampaknya bisa mendinginkan suhu politik nasional yang sering panas," kata Pengamat Politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin saat dihubungi, Sabtu (13/7).
Menurut Ujang, pertemuan yang santai di sarana transportasi publik itu menandakan keduanya peduli terhadap kemajuan. Ia mengatakan, pertemuan itu tampak sebagai silaturahim. Kendati demikian, kata Ujang, silaturahim itu bisa menjadi pintu terbukanya rekonsiliasi.
"Masih sekadar silaturrahmi. Namun silaturrahmi yang akan semakin jelas mendekati rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi itu hanya soal waktu saja," kata Ujang.
Dengan bertemunya kedua tokoh tersebut, Ujang menyebut, suhu politik akan semakin dingin dan rakyat akan optimistis menatap rekonsiliasi. "Akan meredakan suasana politik," ujarnya.
Peneliti Formappi Lucius Karus juga menyebut pertemuan ini bisa jadi lebih mendekatkan pada rekonsiliasi. Namun, kata dia, rekonsiliasi tak harus dimaknai dengan bagi-bagi kursi. Pertemuan ini, kata di, tidak lantas dapat dikatakan bahwa kubu Prabowo-Sandi akan mendapat kursi.
"Pertemuan yang terjadi hari ini antara Presiden Jokowi dengan Prabowo bicara soal itu, bagaimana Presiden sebagai pemerintah nanti dan Prabowo sebagai oposisi di luar. Bagaimana membangun bangsa, Prabowo punya kekuasaan juga yaitu kekuasaan di parlemen," kata Lucius di Cikini, Jakarta Pusat.
Lucius menambahkan, partai koalisi pendukung Prabowo-Sandi baiknya tetap berada di kubu oposisi dalam parlemen. Melalui itu, mekanisme check and balances dapat terbangun dan kubu Prabowo-Sandi menjadi oposisi konstruktif yang mengoreksi kebijakan Jokowi - Ma'ruf lima tahun mendatang.