REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa menentukan langkah hukum yang diambil terkait putusan bebas Mahkamah Agung (MA) terhadap terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung. KPK masih menunggu salinan putusan MA tersebut untuk dilihat secara perinci.
"Begitu kami terima (salinan putusan), tim akan secara cepat melakukan pembacaan dan analisis. Kami juga akan sampaikan pada publik secara lebih detail apa langkah hukum yang akan dilakukan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (11/7).
Syafruddin telah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding. Namun, MA mengabulkan kasasi Syafruddin dengan membabaskannya dari hukuman pidana. MA menilai, perbuatan Syafruddin masuk kategori hukum perdata.
Menurut Febri, KPK telah mempertimbangkan berbagai upaya hukum. Hanya saja, langkah hukum itu harus lebih matang agar kerugian keuangan negara Rp 4,58 triliun dapat dipulihkan dan dimanfaatkan untuk masyarakat.
"Ikhtiar itu yang sedang kami lakukan dengan berbagai cara, baik terkait dengan putusan dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, penyidikan yang sedang berjalan saat ini, ataupun nanti posisi KPK sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dalam gugatan perdata melawan Sjamsul Nursalim," kata Febri.
Febri mengatakan, KPK akan melakukan upaya hukum secepatnya, tentu setelah selesai melakukan analisis terhadap putusan kasasi secara lengkap. Saat ini, KPK baru menerima petikan putusan. KPK juga perlu tahu kenapa tiba-tiba ada hakim yang mengatakan masuk ranah perbuatan perdata dan ranah administrasi.
"Itu tentu tidak lahir tiba-tiba hanya di amar putusan dalam konstruksi dan sistematika menyusun putusan. Kita yakin sekali pasti ada pertimbangan-pertimbangan dalam keputusan itu yang disebut dengan, misalnya, ratio decidendi-nya. Bagaimana kemudian dari rasio itu, bagaimana amar putusan yang dihasilkan," ujar Febri.
Selain itu, kata Febri, KPK juga meminta MA agar salinan putusan tersebut dapat diakses oleh masyarakat sehingga dapat dilihat dan dinilai secara langsung. MA juga, kata dia, harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari publik.
"Misalnya, mengapa tiba-tiba dari vonis 15 tahun penjara di tingkat pengadilan tinggi, kemudian menjadi lepas. Itu pun suara majelis hakim tidak bulat di sana," kata Febri.
Perkembangan kasus
Sementara itu, KPK terus melakukan pengembangan kasus tersebut. Pada Kamis (11/7), penyidik KPK memeriksa mantan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie untuk tersangka Sjamsul Nursalim.
"Oleh karena saya dipanggil (penyidik) dalam surat panggilannya itu mengatakan, urusannya itu urusan Pak Sjamsul Nursalim, sehingga saya memberikan keterangan tentang masalah Pak Sjamsul Nursalim yang banyak sekali, dan semuanya tertulis (di BAP)," ujar Kwik seusai diperiksa di Gedung KPK.
Kwik menuturkan, keterangan yang disampaikannya tak banyak berbeda dengan saat diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung beberapa waktu lalu. Namun, KPK tetap memerlukan keterangan Kwik untuk mengusut penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang diduga merugikan negara Rp 4,58 triliun tersebut.
Febri mengatakan, sampai saat ini lembaga antirasuah masih terus mempertajam runtutan peristiwa dan proses yang terjadi sebelum SKL BLBI diterbitkan. Aspek pidana tetap menjadi perhatian serius bagi KPK. "Diduga meskipun diketahui ada kewajiban obligor yang belum selesai, SKL tetap diberikan. Sehingga, terdapat kerugian negara Rp 4,58 triliun," kata Febri.
Pada Rabu (10/7), penyidik juga memeriksa empat orang saksi, yakni mantan menteri BUMN Laksamana Sukardi dan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Muhammad Surya Yusuf. Kemudian, mantan deputi kepala BPPN Farid Harianto dan deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah.
Penyidik KPK menanyakan peran keempatnya dalam proses penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim selaku obligor. "Pada prinsipnya tim mengonfirmasi pengetahuan dan peran dari saksi-saksi ini dalam rangkaian proses, baik di KKSK maupun di BPPN pada saat itu terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI sesuai dengan kapasitas masing-masing," kata Febri.
Febri mengatakan, bebasnya Syafruddin tidak akan menggugurkan penyidikan perkara Sjamsul dan Itjih. Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Saat dilakukan financial due dilligence (FDD) dan legal due dilligence (LDD), disimpulkan negara hanya memiliki hak tagih sebesar Rp 220 miliar.
(ed: ilham tirta)