Jumat 12 Jul 2019 07:27 WIB

Agar Nilai-Nilai Pancasila Dipraktikkan

Pemahaman terhadap konsep nilai juga perlu, terutama untuk kelas yang lebih tinggi.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Elba Damhuri
Diskusi Praksis Pendidikan Pancasila di Ruang Sidang Utama  Rektorat UNY, Kamis (9/5).
Foto: Republika/Wahyu Suryanad
Diskusi Praksis Pendidikan Pancasila di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Kamis (9/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Muhammad Abduhzen menilai, pendidikan Pancasila tidak diberikan secara baik kepada peserta didik selama ini. Bahkan, sejak reformasi hingga Kurikulum 2013, Pancasila tidak memiliki mata pelajaran sendiri sehingga pembelajaran yang dilakukan tidak maksimal.

Menurut dia, pendidikan Pancasila ada di dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan diajarkan hanya sebagai pengetahuan umum. “Pancasila selama ini diajarkan hanya sebagai dasar administrasi negara, bukan sebagai nilai-nilai yang menjadi fondasi kehidupan bersama sebagai bangsa,” kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (11/7).

Abduhzen menilai, pendidikan Pancasila sangat penting, khususnya untuk jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), TK, SD, hingga sekolah menengah. Pembiasaan melalui praktik terhadap nilai-nilai Pancasila menjadi sangat penting agar peserta didik memperoleh pembelajaran langsung dari pengalaman mereka.

Namun, lanjut dia, perilaku yang diperoleh dari pengalaman tersebut harus diakarkan di dalam pikiran peserta didik agar menjadi sikap yang teguh. “Maka, pemahaman, pengertian terhadap konsep-konsep nilai juga perlu, terutama untuk kelas-kelas yang lebih tinggi,” ujar dia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana mengubah strategi mengajar pendidikan Pancasila di sekolah. Pola pengajaran akan diarahkan untuk lebih ditekankan untuk lebih banyak memberikan contoh mengenai penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam perubahan pendidikan Pancasila, Kemendikbud juga menyatakan materi yang akan diterima siswa PAUD akan berbeda dari yang diterima siswa SMP. Semakin rendah jenjang pendidikan, Kemendikbud akan semakin banyak menekankan soal perilaku. Sementara itu, semakin tinggi jenjang pendidikan maka materi soal pengetahuan akan lebih banyak.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud telah menyiapkan buku pedoman strategi mengajar pendidikan Pancasila untuk nantinya digunakan guru dan sekolah. Kepala Balitbang Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, secara formal yang bertugas memberikan pendidikan Pancasila adalah guru PPKn.

Namun, kata dia, di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa penguatan nilai moral Pancasila bisa dilakukan di semua mata pelajaran. Penanaman pendidikan Pancasila tidak hanya dilakukan secara jelas, tapi juga bisa disisipkan dalam aktivitas sehari-hari mengajar.

“Secara formal, ini guru PPKn saja. Tapi, secara moral, guru fisika, matematika, misalnya, tetap bertugas memberikan pelajaran Pancasila. Misalnya, kalau ada anak menyontek, kan harus mengingatkan,” kata dia.

Buku tersebut juga menuliskan strategi yang bisa dilakukan untuk penguatan pendidikan Pancasila. Sebagai contoh adalah peserta didik diminta untuk berdiskusi peristiwa publik. Masing-masing anak bisa diminta mengangkat suatu peristiwa yang sangat aktual, kemudian didiskusikan secara kelompok.

Selain itu, dijelaskan juga salah satu strateginya adalah membuat simulasi yang terkait dengan moral Pancasila. Peserta didik diminta bermain simulasi tersebut dan diakhiri dengan refleksi penguatan nilai moral Pancasila.

Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Sartono menyambut baik gagasan ini. Menurut dia, saat ini pendidikan Pancasila harus diinternalisasi melalui pembiasaan agar peserta didik terbiasa dengan nilai-nilai ideologi bangsa.

“Ada contoh menengok orang sakit. Contohnya, anak disuruh nengok orang sakit, di rumah sakit, lalu disuruh buat cerita dari itu. Jadi, bagaimana memberikan rasa empati pada anak,” kata Agus.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menilai, dalam lima sila untuk diterapkan dalam pendidikan di sekolah memang terlalu umum. Oleh karena itu, apabila ingin dimasukkan ke dalam pendidikan formal, perlu diturunkan dalam bentuk implementasi sehari-hari.

“Jika perlu, setiap pelanggaran atas butir-butir itu diberi sanksi dan setiap pelaksanaan diberi //reward//,” kata dia. (ed: mas alamil huda)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement