REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana meminta Rancangan Peraturan Daerah (Qanun) Aceh tentang Hukum Keluarga yang mengatur ketentuan tentang beristri lebih dari satu juga mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi perempuan dan anak. Praktik poligami yang terjadi saat ini sangat merugikan perempuan dan anak.
"Peraturan daerah yang mengatur poligami dalam hukum keluarga berpeluang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban," kata Yohana melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (11/7).
Yohana mengatakan peluang yang semakin dibuka untuk melakukan poligami akan membuat perempuan dan anak semakin rentan mengalami kekerasan. Pada dasarnya praktik poligami merugikan perempuan dan anak.
Karena itu, perlu juga aturan pencegahan kekerasan perempuan dan anak berbasis keluarga yang sesuai dengan hukum syariat yang diterapkan di Aceh. "Kekerasan bukan hanya berbentuk fisik, tetapi juga psikologis. Perasaan seorang perempuan dan efek psikologis anak juga harus dipahami ketika suami dan bapaknya melakukan praktik poligami," tuturnya.
Rancangan Qanun tentang Hukum Keluarga muncul di kalangan masyarakat Aceh untuk mengatur, membina, dan melaksanakan hubungan keluarga yang memiliki karakteristik sendiri, yaitu berdasarkan pada syariat Islam. Agama Islam membolehkan poligami, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Pemerintah Aceh memandang praktik poligami sudah ada dan terjadi di masyarakat sehingga perlu diatur secara jelas dan tegas.
Tujuan pengaturan itu adalah memperketat dan mempersulit syarat-syarat agar seseorang tidak mudah dan sembarangan beristri lebih dari satu atau berpoligami.