Jumat 12 Jul 2019 05:01 WIB

Negara Islam, Histeria Kaligrafi, dan Melankoli Kultur Pop

Persoalan hubungan Islam dengan negara tak pernah tuntas dibahas.

KRISTIANE BACKER menjadi model untuk kampanye anti-Islamophobia (bbc)
Foto: .
KRISTIANE BACKER menjadi model untuk kampanye anti-Islamophobia (bbc)

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

‘’Dalam sejarah tak ada ekpresi negara Islam di Indonesia!’’ Ini pernyataan seorang sahabat, Fitriyan Zamzami. Dia mengutip omongan dari mulut seorang peneliti perempuan asal Amerika Serikat yang pernyataannya pada pagi ini hadir lembali menyentak ingatan. Apalagi setelah melihat omongan pengamat politik-militer, DR Salim Said, di Youtue yang sudah dilihat orang lebih dari sejuta viewer.

‘’Jadi memang orang banyak yang salah paham dan buta sejarah,’’ kata Fitriyan kembali. Saya hanya tersenyum, sebab logika sejarah si peneliti ’Amrik’  mengidap ‘sawan’ Islamophobia’. Dia seperti lagi terkena histeria romantis lagu lama yang kusut pita kasetnya. Persis lagu yang hits Obbie Maesakh yang diawali dengan kata sanjungan: Yang hujan turun lagi’, atau lagu hits periode 80-an karya mendiang Rinto Harahap yang dinyanyikan Iis Sugianto yang syairnya penuh kata ‘sayang’: lagu Benci Tapi Rindu’.

‘’Dia ternyata tak baca sejarah. Lupa perdebatan pertama para pendiri bangsa ini ketika membahas dasar negara adalah debat seru soal hubungan atau eksistensi soal Islam dan negara yang akan mereka bentuk yang bernama Indonesia. Lihat saja jejaknya pada perdebatan sidang BPUPKI menjelang negara ini berdiri,’’ sungut Firiyan lagi.

Nah, soal inilah yang seolah memunculkan kebetulan ketika melihat pernyataan Salim Said di sebuah acara talks show setiap Selasa malam itu. Dan soal ini —hubungan Islam dan negara dia persoalkan dan disarankan perlu dibahas lebih dalam. Soalnya masalah ini telah ada semenjak dahulu, semenjak era perdebatan M Nastir dan Sukarno di masa pergerakan kemerdekaan tahun 1930-an).

‘’Nah soal ini kemudian diulang di sidang BPUPKI dan menjelma jadi kesepakatan di Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, namun tidak dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 (Kemerdekaan dan pengesahan konstitusi), lalu Bung Karno membawa lagi pada dekrit Presiden 1959,’’ ujar Salim.

Celakanya, lanjut Salim Bung Karno  setela itu kemudian sibuk dengan Nasakom dan memang tak senang dengan Piagam Jakarta, seperti dia katakan ketika bertemu dengan Ketua NU tahun 1960-an: KH Dahlan. Dan ini pun tak diselasaikan juga pada era Pak Harto yang sibuk dengan pembangunan ekonomi.  Setelah itu sampai masa reformasi sampai sekarang pun soal ini tak tuntas.’’Bahkan sepertinya tak pernah tuntas. Biar waktu dan Tuhan saja yang menuntaskan.”

Yang mmenarik lagi, sama dengan kisah Fitriyan dan histeria lagu pop yang kadang berkepanjangan, Salim kemudian berkata lebih substil.’’Karena terus tak tuntas inilah yang terus terjadi sampai sekarang dan diekpresikan dalam berbagai bentuk  masalah hingga kini, seperti berimbas pada soal pemilihan gubernur semasa Ahok hingga Pemilu 2019 yang memunculkan fenomena keterbelahan sosial cebong dan kampret.”

Menyimak pernyataan Salim yang lulusan Amerika dan profesor politik di Universitas Pertahanan, saya jadi terpekur. Saya pun seperti Salim bahwa tidak ada atau hanya orang gila di Indonesia yang menolak Pancasila. Tapi masalahnya bukan di situ, tapi bagaimana soal tafsir pelaksanaannya. Salim mengatakan. "Sebab kini juga ada tafsir Pancasila ’bersyariah’." Dan di sisi lain (saya) juga mengatakan berkelindan tafsir ‘Pancasila sekuler, Pancasila liberal, dan lainnya. Teriakan ini pun sudah muncul dari era 1960-an. Kala itu ada pernyataan tokoh PNI yang berseru seraya mengolok: Waspadalah terhadap kaum sarungan! (santri/HMI/Islam).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement