REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, Rabu (10/7). Laksamana mengaku dicecar sejumlah hal terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
"Enggak banyak (materi pemeriksaan) hanya dikonfirmasi beberapa hal (penerbitan SKL BLBI). Sebentar kurang dari sejam," kata Laksamana Sukardi di Gedung KPK Jakarta, Rabu (10/7).
Ketika ditanyakan apakah layak kasus korupsi ini diusut oleh KPK, ia tak mau berkomentar banyak. Laksamana menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada penegak hukum untuk memutuskan, apakah terdapat tindak pidana atau sekedar pelanggaran administrasi. "Saya serahkan ke penegak hukumlah. Kan saya juga bukan penegak hukum," jelas Sukardi.
Diketahui, terdakwa dalam kasus ini yakni mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafrudin Arsyad Temenggung resmi menghirup udara bebas pada Senin (9/7) malam setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasinya.
Dengan bebasnya Syafrudin, banyak pihak yang seakan menganggap putusan MA kali ini dapat menggugurkan penyidikan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim yang merupakan pengembangan dari penydikan perkara Syafrufdin.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, penyidikan BLBI akan tetap berjalan terus sesuai hukum acara yang berlaku. Adapun, sampai saat ini, penyidik KPK juga belum menerima pemberitahuan siapa yang telah ditunjuk dan diberikan surat kuasa khusus oleh Sjamsul dan sang istri Itjih Nursalim dalam perkara ini.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang. Ia menegaskan, KPK tetap akan berupaya semaksimal mungkin sesuai dengan kewenangan yang dimiliki KPK untuk mengembalikan dugaan kemgian keuangan negara Rp4,58 triliun.
Ihwal penanganan perkara dengan tersangka Sjamsul dan Itjih yang sedang berproses dalam tahap penyidikan pun akan tetap berjalan.
"Tindakan untuk memanggil saksi saksi. tersangka dan penelusuran aset akan menjadi konsern KPK," ucap Saut.
Dalam kasus ini, Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.