Rabu 10 Jul 2019 07:53 WIB

Pelaku Penembakan Terindikasi dari Aparat

Komnas HAM panggil sejumlah anggota Polri untuk diperiksa.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat mendatangi Polda Metro Jaya untuk bertemu Kapolda Metro Jaya, Irjen Gatot Eddy Pramono membahas temuan-temuan dalam insiden kerusuhan 21-23 Mei 2019, Selasa (9/7).
Foto: Republika/Flori Sidebang
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat mendatangi Polda Metro Jaya untuk bertemu Kapolda Metro Jaya, Irjen Gatot Eddy Pramono membahas temuan-temuan dalam insiden kerusuhan 21-23 Mei 2019, Selasa (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia mendatangi Polda Metro Jaya pada Selasa (9/7), untuk menyerahkan temuan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019. Amnesty International menyatakan, Polda Metro Jaya membuka diri soal kemungkinan adanya oknum polisi yang menjadi pelaku penembakan dalam kericuhan yang menewaskan sembilan warga sipil.

Hasil investigasi Amnesty International diterima langsung oleh Kepala Polda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono. "Dalam pertemuan, kapolda membuka diri, bisa saja kemungkinan pertama anggota yang melakukan. Akan tetapi, sejauh ini be lum ada usaha definitif (mengusut)tentang senjata tersebut, atau yang kedua kemungkinannya adalah senjata itu berasal dari kelompok pihak ketiga lainnya," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di Mapolda Metro Jaya, Selasa (9/7).

Sejauh ini, delapan di antara korban meninggal berkaitan dengan luka peluru tajam. Amnesty mendesak kepolisian tetap membongkar tuntas kasus penembakan itu, termasuk senjata yang dipakai penembak. Sebab, hanya polisi yang bisa mencari, menyelidiki, menyidik, menggeledah, menangkap, atau melakukan pemang gilan terhadap siapa pun yang berkaitan dengan peristiwa itu.

Dalam pertemuan itu, menurut Usman, kapolda juga mengungkapkan usaha mereka mengumpulkan bahan penyelidikan, mulai barang bukti hingga kesaksian pihak yang melihat dan mendengar langsung. Dari uji balistik terhadap peluru di tubuh beberapa korban, belum terlihat identik dengan senjata polisi.

"Setidaknya sampai empat kasus tidak identik, sementara beberapa kematian lainnya yang memang semuanya belum bisa diidentifikasi secara pasti jenis senjata atau peluru dari mana," kata Usman.

Pada hari yang sama, Komnas HAM juga bertemu dengan kapolda Metro Jaya terkait investigasi kasus penembakan tersebut. Komisioner Bidang Penyelidikan dan Pemantauan Komnas HAM, Amiruddin mengatakan, ada tiga poin yang disampaikan kepada Irjen Gatot, yaitu kelanjutan proses penyelidikan, akses kunjungan keluarga tersangka, dan panggilan pemeriksaan terhadap sejumlah oknum Brimob.

Amiruddin menyebut, undangan pemeriksaan itu ditujukan terhadap beberapa personel Polri yang bertugas di lapangan saat kerusuhan 21- 23 Mei. Komnas HAM ingin mendalami situasi di lapangan dari sudut pan dang petugas kepolisian yang bertugas saat insiden tersebut berlangsung.

Menurut Amiruddin, kapolda Metro Jaya berjanji akan menyiapkan personelnya untuk diperiksa. "Orang lain kanbanyak menyampaikan banyak hal, kita mau lihat seperti apa (dari pihak aparat), kan enggak bisa satu sisi. Kapolda tadi mengatakan akan menyiapkan itu semua," kata Amiruddin.

Pada Jumat (5/7), Polri membeberkan hasil investigasi internal mereka. Saat itu, Direktur Tindak Pidana Umum Polda Metro Jaya, Kombes Ario Seto mengakui, tim belum mampu mengungkap pelaku penembakan. Polri juga baru dapat memastikan empat dari sembilan korban, tewas oleh peluru tajam.

Peluru berkaliber 9,17 milimeter (mm) ditemukan di dada kiri korban Harun al-Rasyid yang baru berusia 15 tahun, sedangkan kaliber 5,56 mm bersarang di tubuh korban Abdul Azis (27 tahun). Peluru yang menewaskan dua korban lain, Rehan Fajari (16) dan Bachtiar Alamsyah (22), tidak dapat ditemukan karena menembus tubuh keduanya.

Menurut Ario, hasil forensik dan uji balistik proyektil dari tubuh Harun dan Azis menyimpulkan pelaku penembakan bukan dari satuan aparat. "Penembakan dilakukan oleh orang tidak dikenal dan jarak pengamanan Polri saat kerusuhan sekitar 100 meter dari korban," ujar Ario.

photo
Suasana kerusuhan di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (22/5).

Pengadilan umum

Sementara itu, Amnesty International juga meminta pelaku kekerasan, penganiayaan, dan penembakan terhadap warga sipil dibawa ke pengadilan umum. Menurut Staf Komunikasi dan Media Amnesty International, Haeril Halim, pengadilan umum penting agar proses hukum oleh kepolisian berlangsung secara profesional, modern, dan terpercaya oleh masyarakat luas.

Saat ini, Polri baru memberikan sanksi 10 anggota Brimob yang terbukti melakukan kekerasan di Kampung Bali, Jakarta Pusat, dengan tahanan 21 hari. Namun, Amnesty berharap jika ada unsur pidana dalam perlakukan anggota Brimob, harus dibawa ke pengadilan umum.

Haeril mengatakan, Irjen Gatot Eddy telah berjanji untuk menindak sejumlah anggota Brimob yang melakukan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap warga sipil. Penindak an tidak hanya pelaku kekerasan di Kampung Bali, tetapi juga di beberapa titik lainnya, seperti di Jalan Wahid Hasyim hingga Jalan Agus Salim (Sabang).

Menurut Haeril, pihaknya tengah melakukan proses pemeriksaan terhadap anggota Brimob yang melakukan penyiksaan di beberapa titik lainnya di Jakarta. "Kapolda berjanji akan menindak dan segera menyidang anggota Brimob, yang melakukan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap warga," kata Haeril.

Soal kekerasan ini, Usman mengatakan, polisi telah bertindak responsif dengan memeriksa sejumlah anggota Brimob sejak tanggal 26-28 Juni dan 1 Juli. Menurut dia, akan menjadi langkah maju jika kasus itu benar-benar dibawa ke pengadilan umum.

"Ketika ini disidangkan meru pakan satu langkah yang sangat positif, dan kami apresiasi itu sebagai satu langkah maju kepolisian agar bisa bekerja dengan profesional, modern, dan terpercaya," kata dia. (flori sidebang/antara ed:ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement