REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Polres Garut terus mendalami kemungkinan penambahan korban atas aksi pemerkosaan yang dilakukan lelaki berinisial UR (42 tahun) beberapa waktu lalu. Hingga saat ini, korban pemerkosaan UR sudah menjadi dua orang, yaitu anak kandung keduanya yang masih berusia 15 tahun dan anak ketiga yang masih berusia 12 tahun.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Garut AKP Maradona Mappaseng mengatakan, dua anak kandung tersangka itu menjadi korban pemerkosaan secara berkali-kali. Pihaknya telah menerima hasil visum anak ketiga tersangka yang hasilnya terdapat luka acak di bagian kemaluannya.
"Berdasarkan hasil visum, keterangan korban, dan tersangka, semuanya sinkron dan mengiyakan kejadian persetubuhan itu," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Selasa (9/7).
Ia mengatakan, tarsangka ini tidak hanya satu kali melakukan aksinya, melainkan berkali-kali. Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa tersangka sudah melakukan pemerkosaan kepada anaknya sejak masih duduk di kelas sekolah dasar (SD).
Anak kedua tersangka sendiri sudah melahirkan anak hasil dari hubungan korban dengan tersangka, yang notabene merupakan ayah kandungnya. Korban melahirkan pada 15 Juni 2019.
Maradona mengatakan, pihaknya masih terus melakukan pemeriksaan kepada tersangka. Ia menambahkan, polisi juga akan akan meminta keterangan kepada anak pertama tersangka.
Hal itu dilakukan lantaran adanya dugaan kemungkinan anak pertama tersangka menjadi korban juga. Pasalnya, anak pertama tersangka pernah tinggal satu atap sebelum tinggal di rumah nenek dari ibunya.
"Baru hasil pemeriksaan anak ke dua dan anak ketiga. Anak pertamanya kita belum berhasil menemui, karena kerja di luar kota, jadi masih kita cari untuk diinterogasi dulu," kata dia.
Sebelumnya, anak kedua dan ketiga tersangka yang menjadi korban pemerkosaan, diketahui sudah berada di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut. Sekretaris P2TP2A Kabupaten Garut Rahmat Wibawa mengatakan, pendampingan akan dilakukan selama korban menjalani proses hukum serta hingga kondisi psikis membaik.
Ia menjelaskan, sesuai standar prosedur operasi seharusnya pendampingan di rumah aman maksimal hanya dilakukan selama 19 hari. Namun untuk kasus ini, P2TP2A Kabupaten Garut tak akan mengikuti standar yang ada.
"Kalau berdasarkan SOP kan 19 hari. Kayaknya kita tidak ambil standar SOP kalau belum tuntas," kata dia.
Menurut dia, selama di rumah aman korban dapat fokus untuk memulihkan kondisi psikisnya dan menghadapi kasus hukum. Jika berada di rumah, Rahmat khawatir korban akan mendapatkan tekanan dari lingkungan, khususnya keluarga tersangka, yang notabene ayah kandung korban.
Ia menambahkan, anak korban yang lahir pada 15 Juni lalu, saat ini berada di rumah sakit. Menurut dia, anak korban masih dalam kondisi dalam perawatan
"Kalau anaknya sudah diperiksa ke rumah sakit, hasil diagnosanya memang harus dirawat. Karena berat badannya sangat di bawah normal, hanya 1,75 kilogram," kata dia.
Rahmat mengatakan, P2TP2A akan terus merawat kedua anak tersebut di rumah aman. Menurut dia, kondisi anak kedua yang telah melahirkan masih terlihat takut dan murung. Sementara kondisi anak ketiga tersangka lebih riang dibanding korban yang telah melahirkan.
"Mereka akan kita tempatkan di rumah aman sampai permasalahan tuntas. Soalnya dia belum tentu siap di keluarga. Memang harus butuh pendampingan khusus," kata dia.