Sabtu 06 Jul 2019 19:37 WIB

Perludem Sarankan 7 Hal Soal Rekapitulasi Elektronik Pemilu

KPU diharap melakukan kajian serius soal penerapan rekapitulasi elektronik.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Layar yang menampilkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tingkat nasional dan penetapan hasil Pemilihan Umum tahun 2019 di gedung KPU, Jakarta, Selasa (21/5/2019) dini hari.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Layar yang menampilkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tingkat nasional dan penetapan hasil Pemilihan Umum tahun 2019 di gedung KPU, Jakarta, Selasa (21/5/2019) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi, mengatakan KPU perlu melakukan kajian serius atas penerapan rekapitulasi hasil pemilu secara elektronik atau elektronic recapitation (e-recap). Pasalnya, penerapan e-recap nemiliki sejumlah risiko. 

Nurul memberikan tujuh catatan yang perlu diperhatikan dan dikaji secara serius sebelum menerapkan e-recap. Pertama, kata Nurul, pemanfaatan teknologi dalam pemilu haruslah dipersiapkan dengan matang, inklusif, dan dengan waktu yang cukup terutama untuk melakukan uji coba berulang. Selain itu, perlu pelatihan yang maksimal untuk para petugas/operator teknis

Baca Juga

"Perlu juga membuka ruang adanya audit teknologi secara akuntabel, termasuk membangun kepercayaan publik terhadap teknologi yang digunakan. Karena itu, hasil audit sistem atas teknologi yang digunakan juga mutlak dipublikasi secara transparan kepada publik," kata Nurul dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/7).

Kedua, e-recap perlu dilakukan secara bertahap, tidak langsung di seluruh daerah pelaksana pilkada, sebagai sarana mempersiapkan kematangan sistem sekaligus membangun ruang kepercayaan publik. "Ketiga, untuk tahap awal penggunaan e-recap harus berjalan pararel dengan rekapitulasi yang dilakukan secara manual dalam rangka mengantisipasi adanya kesalahan hitung, perbedaan hasil, bahkan sengketa yang mungkin diajukan oleh peserta pemilu dalam rangka mempermudah investigasi lebih jauh untuk menguji kebenarannya. Namun hasil resmi tetap berdasarkan e-recap," jelas dia.

Keempat, perlu membuka sistem keamanan yang memadai dan membuka ruang adanya audit independent secara acak oleh pihak ketiga, dalam rangka menguji akurasi sistem sekaligus membangun kepercayaan publik. Kelima, belajar dari Situng Pemilu 2019, jika ingin menerapkan e-recap KPU harus mampu membangun komunikasi publik yang tegas, jelas, dan baik dalam rangka membangun pemahaman secara maksimal kepada masyarakat termasuk pemangku kepentingan soal keberadaan teknologi ini.

"Penggunaan e-recap mesti memperoleh dukungan dari semua pemangku kepentingan yang terkait," tutur Nurul.

Keenam, lanjut Nurul, penggunaan e-recap harus ditopang oleh kerangka hukum yang kuat sebagai jaminan legalitas terhadap eksistensi e-recap dan juga untuk mengantisipasi berbagai permasalahan hukum yang timbul dalam pelaksanaanya di lapangan. Sementara, kata dia, UU Pilkada yang ada saat ini (UU No. 1/2015, UU 8/2015, dan UU 10/2016) belum memberikan payung hukum bagi penerapan rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik dalam penyelenggaraan pilkada di Indonesia.

"Ketujuh, selain itu, e-recap ini juga mesti diatur di dalam Peraturan KPU secara detil, bukan sebatas pengaturan bahwa rekapitulasi penghitungan suara dilakukan secara elektronik," tambah Nurul.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), berencana menjadikan hasil data pada sistem informasi penghitungan (situng), sebagai hasil resmi rekapitulasi pada pemilu 2024. Namun, rencana ini akan dilakukan secara bertahap. 

Komisioner KPU, Viryan Azis, mengatakan pihaknya tidak hanya menjadikan situng sebagai dasar rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik pada Pilkada Serentak 2020, tetapi juga untuk pemilu 2024."Nanti bisa sampai ke sana (pemilu 2024), kan harus pelan-pelan ya, kita mulai di pilkada serentak 2020," ujarnya di Jakarta, Sabtu (6/7).

Dia melanjutkan, pada pemilu 2019 publik masih banyak yang mengira bahwa data dalam situng merupakan hasil resmi perolehan suara oleh KPU. Padahal, situng saat ini bukan hasil resmi, sehingga tidak menjadi prioritas KPU.

"Salah satu pertimbangannya adalah selama pemilu 2019 banyak orang yang berpikir demikian (situng sebagai hasil resmi perolehan suara KPU). Selain itu, memang kita berpikir suatu saat nanti situng dijadikan hasil resmi dan kita lihat momentumnya di Pilkada serentak 2020," tuturnya. 

Menurut Viryan, memang terdapat pilihan untuk menggunakan teknologi dari pemungutan dan penghitungan suara secara elektronik atau e-counting, rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik atau e-recapitulation serta pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara secara elektronik atau e-voting.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement