Sabtu 06 Jul 2019 11:10 WIB

Mimpi Pengrajin Kulit Garut Menembus Pasar Internasional

Pengrajin perlu binaan terkait pemasaran produk agar layak menembus pasar luar negeri

Rep: Bayu Adji P/ Red: Friska Yolanda
Berbagai produk kerajinan kulit di sentra insdustri kulit Sukaregang, Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Jumat (5/7).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Berbagai produk kerajinan kulit di sentra insdustri kulit Sukaregang, Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Jumat (5/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Kabupaten Garut terkenal dengan salah satu kerajinan kulit yang terletak di sentra insdustri kulit Sukaregang, Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut. Hampir di sepanjang mata memandang, toko-toko di Jalan Ahmad Yani itu menjual berbagai macam yang terbuat dari bahan kulit domba dan sapi. Berbagai olahan itu bisa didapatkan mulai dari harga Rp 50 ribu seperti sendal dan gangan kunci, hingga Rp 2 juta untuk jaket kulit.

Industri kerajinan kulit di Sukaregang memang telah berlangsung sejak sekitar tahun 1970-an. Harga yang terjangkau tapi menawarkan kualitas yang tak perlu diragukan, membuat kerajinan kulit dari Sukaregang masih bisa bersaing hingga saat ini. Namun, masih banyak perajin kulit yang hanya bisa memasarkan produknya secara konvensional melalui tokonya di Sukaregang. Padahal, potensi kerajinan kulit Garut untuk menembus pasar internasional sangat terbuka lebar.

Pemilik Toko Agung Leather, Siti Noor (49 tahun) mengatakan, permodalan dan pemasaran merupakan beberapa masalah yang harus dihadapi para perajin kulit di Sukaregang untuk berkembang. Pasalnya, umumnya para perajin dan pedagang kulit di Sukaregang memiliki modal yang terbatas dan masih memasarkan produknya secara konvensional.

Namun, saat ini dia telah mendapatkan pinjaman dana segar dari Perum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) sebesar Rp 50 juta. Melalui program pinjaman kemitraan itu, Siti juga dibina dari segi pemasaran, dengan siikutsertakan dalam kegiatan pameran. "Saat ada pameran kita dikasih kesempatan untuk tampil dan mencari pelanggan," kata dia, belum lama ini.

Sejak itu, omzet penjualan kerajinan kulit milik Siti meningkat sekitar 50 persen. Saat ini, dalam sebulan perputaran uang di Toko Agung Leather rata-rata sekitar Rp 18 juta. Namun, angka itu dinilai masih terlalu kecil untuk produk yang satuannya dijual ratusan ribu rupiah itu.

"Harapannya kami terus dibina dari segi pemasaran dan manajemen. Itu yang paling kita perlukan. Itu sangat membantu, banyak pelanggan baru kita yang datang," kata dia.

photo
Berbagai produk kerajinan kulit di sentra insdustri kulit Sukaregang, Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Jumat (5/7).

Bukan hanya toko milik Siti yang mendapat bantuan modal dari Perum Jamkrindo. Pemilik toko Chiva 306 Original Leather, Ria Halimah (38) mengatakan, bantuan modal yang diberikan Perum Jamkrindo memang sangat berguna bagi pelaku usaha. Dengan dana segar Rp 50 juta, para perajin kulit bisa menambah modal dan yang lebih penting para perajin bisa memperluas pemasasaran melalui pameran-pameran.

Ia mengatakatan, sejak tokonya menerima bantuan dana segar itu, omzetnya meningkat dari Rp 25 juta per bulan menjadi Rp 30 juta per bulan. Meski masih terbilang sedikit, ia yakin perlahan penjualan kerajinan kulit dari tokonya akan semakin meningkat.

Selama menjadi binaan Perum Jamkrido, kerajinan kulit asli Garut itu banyak dibawa ke pameran. Ia menyebutkan, pada tahun lalu misalnya, tokonya mewakili kelompok perajin kulit dari Sukaregang melakukan pameran di Jakarta Convention Center, Senayan. Tak hanya itu, belum lama ini ia juga berkesempatan melakukan pameran di Malaysia.

"Tapi kita baru pameran saja, kita belum dapat buyer untuk pemasaran. Kalau dari pengusaha, yang peling penting untuk dibantu adalah pemasaran. Kita sebenarnya perlu banyak pameran untuk go international," kata dia.

Ria optimistis tahun ini kerajinan kulit miliknya bisa menembus pasar internasional, meski baru sekadar penjualan melalui internet. Ia menjelaskan, pihaknya telah merancang strategi untuk melakukan ekspor. 

Ia mengaku pernah melakukan penjajakan dengan situ jual beli daring Amazon. Namun, kendala untuk memasarkan produk melalui Amazon adalah, mereka meminta stok minimal 1.000 buah produk untuk satu bulan.

"Kalau untuk produksi kita bisa, tapi modalnya susah. Misal modal untuk satu jaket saja Rp 750 ribu, dikali 1.000 buah. Bulan berikutnya harus kirim lagi. Sudah kebayang modalnya," kata dia.

Menurut dia, dengan modal yang ada saat ini toko Chiva 306 baru bisa melakukan produksi 300 buah jaket dalam satu bulan. Produksi itu pun, hanya untuk melayani konsumen yang sudah jelas.

Untuk memproduksi sebuah kerajinan kulit, setidaknya diperlukan proses yang panjang. Sebelum masuk ke tokonya, kulit yang masih basah harus melalui proses penyamakan terlebih dahulu untuk menjadi kulit setengah bahan. Proses penyamakan itu diperlukan waktu sekitar dua pekan.

Setelah menjadi setengah bahan, baru kulit tersebut masuk ke tokonya untuk dipola dan dijahit. Proses itu makakan waktu setidaknya tiga haru. Baru setelah itu produk siap dipasarkan.

Ria sendiri melakukan pemodalan dan penjahitan di lantai dua toko miliknya. Bermodal tujuh unit mesin jahit, produk-produk seperti tas, jaket, dompet, ikat pinggang, sepatu, hingga sarung tangan, bisa dihasilkan dari tempatnya.

Ia mengatakan, salah satu produk unggulan kerajinan kulit dari Garut itu adalah jaket. Pasalnya, bahan jaket itu terbuat dari kulit domba, yang rata-rata berasal dari wilayah Priangan. 

"Domba yang hidup di wilayah Priangan itu kan pori-pori kulitnya lebih tipis, karena wilayah sini lebih dingin," kata dia.

Kepala Divisi Manajemen Risiko dan Pemeringkatan UMKM serta Konsultasi Manajemen Perum Jamkrindo, Ceriandri Widuri mengatakan, potensi produk kerajinan kulit dari Kabupaten Garut sebenarnya sangat tinggi. Namun, bantuan modal hanya oleh Perum Jamkrindo yang maksimal hanya Rp 75 juta tentu tak akan bisa mengembangkan pemasaran priduk itu secara cepat.

"Ini perlu banyak dukungan, mulai pemerintah pusat hingga pemerintah daerah," kata dia.

Ia mengatakan, jika berkaca pada omzet para perajin kulit yang masih berkisar antara Rp 18-30 juta, itu masih sangat kecil. Ia berkomitmen untuk terus pelatihan dan pendampingan, serta mencarikan modal untuk para perajin, sehingga produk olahan kulit dari Garut tak hanya menyasar pasar lokal. Lebih dari itu, kerajinan kulit asli Garut ke depan harus bisa menembus pasar internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement