Sabtu 06 Jul 2019 07:30 WIB

Penghisapan Modal: Tak Perlu Alfatihah di Makam Karl Marx

Dunia makin disetir oleh segelintir millionaire yang menggenggam modal super besar

Kompleks makam Karl Marx diLondon.
Foto:
Patung Karlx Marx dan Frederich Engels di Berlin.

Senada dengan Fachry, DR Suryadi yang juga kolega Fachry, membalas foto dan komentarnya di media sosial ketika berfoto di kompleks kuburan makam Marx tersebut. Alumni Universitas Leiden Belanda menulis begini tentang kesannya mengunjungi makam dua tokoh komunis, yakni Karl Mark di London dan Freidich Engels di Berlin, Jerman. Tulisan bertajuk 'Renungan Kapitalisme' ini pernah dia ditulis di harian Padang beberapa tahun silam:

Pertengahan April lalu (2014), di senja yang memanjang di awal musim semi, saya dipaksa istri berfoto di pangkuan Karl Heinrich Marx dan Friedrich Engels di Schlossplatz Berlin. Patung perunggu dua lelaki berjenggot lebat dan berkumis tebal itu terasa dingin ketika bersentuhan dengan kulit punggung saya.

Menyusul runtuhnya tembok Berlin yang beberapa dekade telah membelah bekas ‘Rumah Hitler’ itu dalam dua ideologi yang bertentangan (kapitalisme di barat dan komunisme di timur), patung kedua filusuf dan pantolan ideologi komunisme itu rupanya tak turut dihancurkan.

Namun semakin nyata dalam pandangan mata Melayu saya betapa kedua orang tua itu makin menjadi liyan dalam geliat Berlin yang kian basah dijilat lidah kapitalisme. Kota itu, sebagaimana banyak metropolitan lainnya di Eropa Barat, makin menawarkan gairah duniawi dan kemewahan. Dan selalu saja ada yang menjadi pecundang dalam gerak ke arah pemujaan uang dan benda-benda itu: para gelandangan berjaket dan bersarung tangan compang yang dengan sekaleng bir sering terlihat layu dan menggigil duduk di bangku-bangku taman kota dalam deraan angin empat musim kiriman dari Laut Utara.

Penampilan yang makin kontras antara gelandangan dan orang kaya berlindak adalah salah satu penyebab rusaknya retina mata kemanusiaan kita di zaman ini. Ada orang yang melihat fenomena itu sebagai jalan nasib dan suratan tangan. Tetapi yang lain berpandangan bahwa hal ini merupakan ekses dari sebuah sistem politik ekonomi yang bernama Kapitalisme. Thomas Pikkety dalam bukunya yang sedang laris manis Kapital in the Twenty-First Century mengingatkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku di dunia sekarang telah mendorong melebarnya kesenjangan ekonomi dan merusak demokrasi.

Sejak beberapa dekade terakhir dunia makin disetir oleh segelintir millionaire yang menggenggam modal super besar dan mengendalikan arus perputaran uang sambil mengeksploitasi mayoritas kerumunan massa yang mereka beri label: ‘buruh’.

Kini dunia diingatkan lagi pada tesis klasik tentang ideologi komunisme versus kapitalisme: apakah dinamika akumulasi modal swasta menyebabkan terkonsentrasinya kekayaan yang tak terelakkan di tangan segelintir orang, sebagaimana pernah dipikirkan Marx di abad ke-19?

Atau apakah kekuatan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, persaingan pasar bebas, dan kemajuan teknologi menjadi faktor penentu akhir dalam mengurangi ketidaksetaraan dan disharmoni antar kelas yang makin jomplang seperti yang diteorikan oleh Simon Kuznets di abad 20?

Piketty dan beberapa ekonom lain menunjukkan bahwa apa yang pernah dinukilkan Marx dalam Das Kapital tampak makin nyata sekarang. Di abad ini nasib mayoritas manusia di bumi ini makin ditentukan oleh segelintir manusia super kaya yang menjadikan mereka sebagai ‘mesin produksi’ untuk mengakumulasi kapital mereka setiap detik. Nama keren mereka adalah ‘kelas pekerja’ – sebuah eufemisme modern untuk kata ’sahaya’.

Dengan kata lain, abad ini makin menunjukkan secara kasat mata gejala penghisapan manusia oleh sesamanya. Kesenjangan ekonomi kaum buruh dengan tuan-tuan borjuisnya makin menganga lebar. Di Amerika (dan mungkin juga di banyak negara maju lainnya), seperti ditulis oleh Alan Woods, gaji seorang direktur 200 kali lebih besar dibanding gaji buruh yang bekerja di perusahaannya. Sejak 30 tahun terakhir pendapatan para CEO di Amerika sudah naik 725%, berbanding pendapatan para pekerja yang hanya naik sebanyak 5,7%. Pendapatan golongan kelas atas rata-rata 244 kali lebih besar dari pendapatan para pegawainya.

Artikel Alan Wood ‘The Ideas of Karl Marx’ dengan detil menunjukkan bahwa kapitalisme dan globalisasi ekonomi telah gagal membawa kesejahteraan kepada lebih banyak umat manusia di bumi ini. Globalisasi, kata Alan lagi, makin mempertajam kesenjangan (inequality).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement