Sabtu 06 Jul 2019 07:30 WIB

Penghisapan Modal: Tak Perlu Alfatihah di Makam Karl Marx

Dunia makin disetir oleh segelintir millionaire yang menggenggam modal super besar

Kompleks makam Karl Marx diLondon.
Foto: Fachry Ali
Kompleks makam Karl Marx diLondon.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Mengikuti perjalanan pengamat sosial Fachry Ali melakukan kunjungan muhibah keliling dunia memang menarik. Apalagi perjalanannya sangat panjang menyinggahi berbagai negara di berbagi benua.

Dua pekan lalu saya sempat bercakap melalui telepon bila dirinya tengah berada di Tokyo, Jepang. Ini terlihat ketika dia mengirimkan fotonya tengah berada di kuil Yasukuni, kuil yang atas perintah sang kaisar ’negara matahari terbit’ itu dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan Jepang pada perang dunia II.

Uniknya lagi, saat  bercakap melalui telepon kami berdua sempat berdiskui soal seluk beluk budaya kekuasaan. Saya ajak dia mengomentari budaya kekuasaan Jawa (pada zaman Mataram) yang kini terasa masih eksis. Fachry terkejut ketika saya ajak ‘ngomong’ tesis Ben Anderson, seorang Indonesianis, yang meneliti banyak soal langgam kekuasaan para raja Mataram di Jawa itu. Dia kemudian bercerita soal 'Politik-Ekonomi Di Dalam Kekuasaan Jawa'.

‘’Lha ini pas aku teringat Pak Ben Andeson, kok kamu tepat nelepon soal dia. Oh ya besok saya ke Negeria dari Jepang langsung, tanpa lewat Jakarta,’’ sahut dia sembari tertawa lebar. Di situ saya berpikir ‘Abangda’ Fachri tengah membanding-bandingkan dua budaya kekuasaan, yakni Indonesia (Jawa) dan Jepang.

photo
Fachry Ali di Kuils Yasukuni, Tokyo.

Beberapa hari kemudian benar Fachry melalui media sosial mengatakan siap pergi ke Bandara, Narita untuk terbang langsung ke Baku. Lucunya, entah apa dia sempat ketinggalan pesawat yang akan ditumpanginya ke Nigeria itu. Maka kepergiannya itu pun sempat ditunda dua hari. Entah sebab apa ia tertunda kepergiannya. Jangan-jangan di ketiduran? ha ha ha

Dan benar, ketika sampai ke Baku dia kirim gambar bila sudah berada di bandara Nigeria. Ada foto bergambar bandara di Baku yang memaki model arsitektur bangunan lengkung. Fahcry terlihat ceria. Dia menulis begini sembari berpose di sebuah sabana luas di Negeria. Dia mengutip sajak klasik Taufiq Ismail yang ketika melihat sabana di Monggolia: Ketika melihat luas padang sabana saya teringat Umbu! (Umbu Landu Paranggi, penyair asal NTT yang menjadi guru Emha Ainun Nadjib,red).

photo
Fachry di savanah pedalaman Nigeria

Dan terakhir saya makin terkejut ketika menerima postingan terakhrnya pagi ini  di media sosial yang berkabar dan menunjukan tengah berada di Inggris. Tak hanya itu yang membuat saya semakin kaget ketika 'nongol' gambar dia tengah berada di makam Karl Marx yang memang berada di London itu.

Namun, kali ini Fachry menulis sebuah renungan yang bernas. Dia bercerita mengenai perasaan dan pikirannya soal sosok bapak ideologi Komunis itu. Sosok yang dipuja begitu banyak orang. Sosok yang melahirkan berbagai revolusi dan gejolak sosial, setidaknya dalam 150 ratus tahun terakhir.

photo
Fachry Ali di depan kompleks makam Karl Marx di London.

Fachry menulis begini untuk mengenangkan soal Marx ketika masih kuliah di Universitas Monash, Australia:

‘Which Marx,’ kata Ariel Heryanto (peneliti sosial yang kini tinggal di Australia), yang tiba-tiba masuk dan membuat pembicaraan ahli politik Indonesia. Kala itu William Liddle dari Ohio State University  yang tengah berbicara terhenti sejenak. Liddle menjadi pembicara informal dlm acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Monash University, Clayton, Melbourne —yg berlangsung di rumah Bu Tuti pada awal 1990-an.

Liddle yang menginap di rumah saya, dalam pembicaraan itu ‘mengeritik pandangan Marx. Inilah yg mendorong Ariel, yang sebelumnya hanya berada di luar, memberikan reaksi. Liddle terkejut dan dengan spontan seraya menyapa dan berkata: ‘Hai Ariel.’

Fachry kemudian melanjutkan tulisannya: Nah sore  ini, 5 Juli 2019, saya terlambat datang mengunjungi makam Karl Marx di London. Dia dimakamkan dipusat kapitalisme dunia abad ke-18 dan 19  yakni kota London, Marx ternyata masih menyihir manusia di abad ke-21. Di depan kompleks pemakamannya, tertulis program tur ke kuburannya.

Maka, di sore hari yang cerah itu, saya hanya bisa berfoto di pintu gerbang makam yg telah tutup itu. Juga, saya kira, Marx tak perlu kiriman al-Fatihah dari saya. Juga dari siapa pun!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement