Jumat 05 Jul 2019 10:41 WIB

Menggugat Kualitas Udara Jakarta yang Buruk

Dalam separuh tahun 2019 hanya ada 10 hari dengan kualitas udara baik.

Teknologi Hujan Buatan Atasi Polusi Jakarta. Sejumlah gedung bertingkat terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (3/7).
Foto: Fakhri Hermansyah
Teknologi Hujan Buatan Atasi Polusi Jakarta. Sejumlah gedung bertingkat terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Beberapa pekan terakhir ini warga Jakarta dan sekitarnya terpaksa berhadapan dengan langit kelabu yang tak kunjung mencurahkan hujan. Itulah polusi yang membuat udara di Jakarta dan sekitarnya masuk kategori tidak sehat.

Baca Juga

Mengutip data dari Air Quality Index yang melakukan pemantauan kualitas udara secara real time, kualitas udara di Jakarta sudah masuk kategori tidak sehat (unhealthy). Tepatnya sejak pekan ketiga di bulan Juni 2019.

Berdasarkan data Air Quality Index mulai tanggal 21 Juni kualitas udara Jakarta ada di kategori 157 PM2.5, yang berarti tidak sehat karena bisa menimbulkan efek kesehatan ke kelompok yang sensitif seperti anak-anak dan orang tua. Dalam kondisi udara yang buruk atau masuk kategori tidak sehat, maka anak-anak dan lansia terutama dianjurkan untuk tidak berada di luar ruangan. Atau setidaknya membatasi waktu berada di luar ruangan.

Dari 21 Juni kadar polusi udara yang tidak sehat itu terus bertahan. Berkurang sedikit di hari-hari tertentu namun masih dalam kategori tidak sehat, meski dengan catatan bagi kelompok yang sensitif diantaranya anak-anak dan lansia.

Tren kualitas udara buruk juga dialami di Bekasi, meski angkanya tidak separah Jakarta. Tangerang dan Tangerang Selatan juga tercatat memiliki kualitas udara yang buruk.

Dikutip dari Channel News Asia, kualitas udara yang buruk sebenarnya bukan barang baru bagi Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, udara Jakarta sudah terpapar polusi parah bertahun-tahun lamanya.

Di tahun 2017, Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia yang memiliki stasiun monitoring kualitas udara di atas gedung Kedutaannya dan di kediaman Duta Besarnya mencatat Jakarta hanya memiliki 26 hari dengan kualitas udara yang masuk kategori baik.

Waktu udara baik tersebut umumnya terjadi di musim hujan. Tepatnya ketika hujan sedang turun lebat.

Di paruh pertama tahun 2019, hanya 10 hari Jakarta tercatat memiliki kualitas udara yang sehat. Bayangkan, ya, 10 hari saja di enam bulan pertama tahun ini.

Riset yang pernah dilakukan oleh Universitas Chicago menunjukkan kalau polusi udara Jakarta telah berdampak pada kehidupan warganya. Riset mengatakan setidak kualitas udara yang buruk bisa memotong angka harapan hidup warga Jakarta sampai 2,3 tahun.

Polutan dalam ukuran mikropartikel itu telah menyebabkan penyakit dan kematian dini. Ketika dihirup, partikel-partikel mikro yang dikenal sebagai PM2.5 meningkatkan risiko kematian dini karena jantung, strok, hingga masalah ISPA.

Menurut Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sumber terbesar masalah udara Jakarta ialah kendaraan bermotor. Katanya, upaya pengurangan penggunaan kendaraan pribadi juga belum cukup menekan polusi udara di Ibu Kota.

Saat ini, masyarakat yang menggunakan transportasi umum hanya 25 persen. Sedangkan sisanya 75 persen naik kendaraan pribadi. Ia menargetkan pada 2030 kebalikannya yakni 75 persen menggunakan angkutan umum yang sudah terintegrasi.

Anies menginginkan, kondisi kendaraan di Ibu Kota minimal harus seperti kondisi di tahun 1998. Pada tahun 1998, separuh penduduk Jakarta menggunakan kendaraan umum.

Sebanyak 75 persen kendaraan pribadi itu menjadi kontributor buruknya kualitas udara. Karena kualitas bahan bakar di Indonesia masih mengandung belerang yang tinggi.

Ada 17 juta terdiri dari 13 juta sepeda motor dan empat juta kendaraan roda empat atau lebih yang terdaftar di DKI Jakarta. Tapi, kendaraan yang bergerak di Ibu Kota bisa mencapai lebih dari jumlah tersebut. Sebab, kendaraan-kendaraan di luar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi juga justru melintas di Ibu Kota.

Buruknya kualitas udara selama berhari-hari akhirnya menimbulkan gugatan hukum. Kemarin, Kamis (4/7), Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) resmi melayangkan gugatan warga negara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Nama Presiden Jokowi disebut-sebut dalam gugatan perdata bernomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst itu.

Jokowi terdaftar beserta enam tergugat lainnya, karena dianggap bertanggung jawab menyediakan udara bersih di Jakarta. Selain Jokowi, ada pula nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Terdapat pula nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Banten Wahidin Halim turut serta dalam daftar tergugat tersebut.

Gugatan hukum mungkin perlu agar isu kualitas udara Jakarta yang buruk ditanggapi lebih serius. Setidaknya agar warga Jakarta dan sekitarnya lebih menjaga dirinya karena sadar kalau udara Jakarta sudah sangat buruk. Tidak ada salahnya Pemprov DKI mengeluarkan imbauan agar warga mengenakan masker yang serius untuk menjaga kesehatan dirinya.

Termasuk menegakkan aturan bagi emisi kendaraan bermotor. Hingga paksaan untuk mau beralih menggunakan transportasi publik. Memang transportasi publik di Jakarta belum nyaman bagi semua golongan. Baru MRT yang menyediakan fasilitas lebih ramah ke ibu dengan anak, ibu hamil, lansia dan kelompok difabel. Sisanya, masih dalam kategori nyaman untuk mereka yang memang sehat.

Apalagi transportasi publik di daerah penyangga Jakarta seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok, dan Bekasi. Kategorinya baru sebatas ada. Jauh dari nyaman atau efisien dari segi waktu.

Jadi kalau Anies mau menyalahkan kendaraan bermotor, saya bisa bilang Anies harus mau bekerja lebih keras memaksa kepala daerah penyangga untuk bekerja sama dengan DKI membangun sistem transportasi publik yang bisa memaksa warganya beralih. Tanpa pembangunan transportasi publik yang nyaman, efektif, terintegrasi dengan daerah penyangga, maka lupakan ide memiliki kualitas udara yang lebih baik.

Pemerintah tapi juga tidak bisa bekerja sendirian. Warganya harus membantu. Setidaknya warganya bisa memulai dengan memiliki kesadaran kalau jejak langkahnya pasti meningggalkan emisi. Yuk, mulai memikirkan, bagaimana cara memulai untuk mengurangi emisi tersebut?

*Penulis adalah redaktur di Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement