Jumat 28 Jun 2019 08:37 WIB

Pemprov: Udara Jakarta Terburuk tak Tepat

Masyarakat semestinya mendapatkan informasi untuk mengubah perilaku bermobilisasi.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Polusi udara
Foto: Republika/Darmawan
Polusi udara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menegaskan, data AirVisual yang menyatakan tingkat polusi udara Jakarta terburuk di dunia pada Selasa (25/6) pagi tidak sepenuhnya tepat. Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Andono Warih, mengatakan, pihaknya memiliki data pembanding.

Andono menjelaskan, data pembanding berdasarkan pemantauan dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) milik pemerintah yang tersebar di Ibu Kota. Di antaranya di SPKU DKI 1 Bundaran Hotel Indonesia (HI), SPKU DKI 2 Kelapa Gading, dan SPKU DKI 3 Jagakarsa.

"Pada hari Selasa, 25 Juni 2019, ISPU DKI Jakarta dalam kategori sedang di seluruh Ibu Kota," kata Andono, Kamis (27/6).

Ia memaparkan, data hasil pengukuran parameter PM 2.5 pada hari Selasa (25/6) sekitar pukul 08.00 WIB, di SPKU DKI 1 konsentrasinya sebesar 94,22 mikrogram per meter kubik (ug/m3), DKI 2 103,81 ug/m3, dan DKI 3 112,86 ug/m3. Sehingga, data AirVisual tak dapat menggambarkan kualitas udara buruk sepanjang waktu di seluruh wilayah Jakarta.

"Di lokasi pemantauan SPKU milik DKI hasil pengukurannya tidak setinggi data AirVisual sehingga tidak dapat dikatakan seluruh wilayah Jakarta kualitas udaranya buruk sepanjang waktu," kata Andono.

Andono mengatakan, jika menurut data pengukuran periode Januari-Juni 2019, sebagian besar kualitas udara Ibu Kota memenuhi baku mutu. Hari-hari dengan kualitas udara yang sesuai baku mutu mencapai 87 persen sedangkan yang melampaui baku mutu sebanyak 13 persen.

Ia mengakui, sumber pencemar udara parameter PM 2.5 di DKI Jakarta didominasi sektor transportasi darat, industri, dan debu akibat kegiatan proyek pembangunan fisik. Andono menyebut, wajar menurunkan kualitas udara Jakarta sebagai kota Metropolitan.

"Debu akibat berbagai proyek pembangunan tersebut turut menurunkan kualitas udara di Jakarta, hal ini cukup wajar sebagai kota metropolitan yang sedang giat membangun," lanjut dia.

Ia menambahkan, Pemprov DKI tengah memperbaiki kualitas udara dengan melalui rancangan Jakarta Cleaner Air 2030. Rancangan tentang pengendalian pencemaran udara dengan 14 rencana aksi.

Rencana Aksi tersebut antara lain monitoring kualitas udara, pengembangan transportasi umum ramah lingkungan, penerapan uji emisi kendaraan bermotor, pengendalian kualitas udara kegiatan industri, dan penyediaan bahan bakar ramah lingkungan.

Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, pejalan kaki menjadi kelompok paling rentan yang terdampak polusi udara. Untuk itu, koalisi memberian alarm darurat bagi pejalan kaki seiring data AirVisual yang melaporkan Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

"Beberapa hari ini kan Jakarta menjadi salah satu kota yang terpolusi menurut versinya AirVisual. Jadi, salah satu kelompok yang paling rentan adalah para pejalan kaki," ujar Alfred saat dihubungi Republika, Kamis (27/6).

Ia menuturkan, seharusnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberikan peringatan bagi masyarakat yang berkegiatan di Ibu Kota terkait menurunnya kualitas udara. Bukan justru memperdebatkan data dan metode yang digunakan.

Masyarakat semestinya mendapatkan informasi dari Pemprov DKI untuk mengubah perilaku saat bermobilisasi di Ibu Kota. Contoh sederhananya menginstruksikan warga menggunakan masker sebagai upaya meminimalisasi terdampak polusi udara.

Alfred meminta, Pemprov DKI justru berkewajiban memberi tahu masyarakat akan bahaya pencemaran udara. Selain itu, dijelaskan cara memproteksi diri mulai dari anak-anak, ibu-ibu, orang dewasa, dan semua masyarakat yang beraktivitas di Jakarta.

"Kami ingatkan Jakarta bahwa coba jangan defensif, tapi bagaimana caranya bisa memberi tahu msyarakat dan mengedukasi masyarakat," kata dia.

Ia menambahkan, memang masalah kualitas udara bukan sesuatu yang bisa ditangani dengan cepat. Akan tetapi, Pemprov DKI bisa memulainya dengan melakukan pembatasan-pembatasan.

Alfred mencontohkan, Dinas Perhubungan bisa mengeluarkan kebijakan untuk membatasi kendaraan pribadi. Serta adanya kewajiban setiap kendaraan baik pribadi maupun angkutan umum untuk melakukan uji emisi.

Dinas lain pun, kata dia, perlu memulai berupaya meningkatkan kualitas udara seperti Dinas Kehutanan harus menambah ruang hijau. Kemudian, ada pembatasan penggunaan bahan bakar yang seharusnya lebih menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan.

"Beberapa dinas harus mengeluarkan bagaimana upaya dalam langkah penurunan pencemaran udara," lanjut Alfred.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement