Kamis 04 Jul 2019 23:59 WIB

Nasib Pencari Suaka di Tangan UNHCR

Dalam dua tahun terakhir pencari suaka sebut UNHCR menutup pintu ke negara prioritas

Perwakilan UNHCR temui pendemo imigran yang mencari tempat tinggal atau suaka di depan gedung Menara Ravindo, Kebon Sirih, Kamis (4/7).
Foto: Republika/Nugroho Habibi
Perwakilan UNHCR temui pendemo imigran yang mencari tempat tinggal atau suaka di depan gedung Menara Ravindo, Kebon Sirih, Kamis (4/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Nugroho Habibi/Wartawan Republika

Dari pada meninggal akibat peperangan di negara sendiri. Kehilangan rumah dan mengungsi ke negara lain menjadi satu-satunya pilihan Mohammad Idris Noori, imigran asal Afganistan. Bersama dengan Imigran asal Somalia dan Sudan, sudah satu minggu Noori mendirikan tenda di depan gedung Menara Ravindo, Kebon Sirih, Kamis (4/7).

Baca Juga

Empat negara prioritas, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat menjadi tujuan utama Noori. Sebab di negara-negara tersebut, banyak imigran yang meyakini akan dapat tinggal dan menetap sebagai warga negara.

Pria yang baru berusia 17 tahun itu memimpikan mendapat tempat tinggal, pendidikan hingga pekerjaan yang layak. Dia sangat berharap suatu saat nanti bisa menjalani hidup di negara yang damai layaknya warga negara pada umumnya. 

"Tapi nasib kita ditentukan oleh Badan PBB untuk pencari suaka (UNHCR)," ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (4/8).

Beberapa tahun yang lalu, pencari suaka masih bisa dikirim ke empat negara tersebut. Namun, sekitar dua tahun silam UNHCR menutup pendaftaran untuk berangkat ke negara-negara itu.

Saking menipisnya, anggaran UNHCR yang digelontorkan untuk para pencari Suaka di Indonesia juga berhenti. Sehingga, pencari suaka terkatung-katung mencari makan. 

Tak banyak tindakan yang bisa dilakukan pencari suaka. Satu-satunya cara hanya meminta ke UNHCR selaku lembaga yang menjamin mereka. 

"Kita tidak tau lagi berbuat apa, kita hanya bisa mengadu ke UNHCR," ungkapnya.

Represetif UNHCR Indonesia Thomas Vargas turut buka suara menanggapi demo yang dilakukan pencari suaka. Thomas mengatakan sangat paham ketakutan pencari suaka terkait masa depan mereka. 

"Kita sangat paham situasi pencari suaka, kita telah bekerja dan memberikan yang terbaik yang kita bisa bagi mereka," kata Thomas di kantor UNHCR. 

Menurutnya, UNHCR sedang mengalami krisis keuangan untuk menfasilitasi 300 sampai 400 pencari Suaka. Pihaknya mengaku telah meninta bantuan sejumlah lembaga (filantropi) misalnya, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, PMI, Suci Foundation dan organisasi lainnya terkait nasib pencari suaka. 

Thomas menjelaskan, para suaka merupakan orang-orang yang bernasib naas akibat adanya pelanggaran, intimidasi maupun diskriminasi. Sekitar 70 juta orang mengalami itu dan meninggalkan negaranya untuk menyelamatkan diri.

UNHCR telah merancang program untuk para pencari suaka agar mereka dapat diberdayakan oleh pemerintah. Langkah itu, dapat memberikan mutualisme bagi pemerintah setempat dan juga para pencari suaka. 

"Hal yang bisa dilakukan yakni, melatih pencari suaka agar dapat memberi kontribusi terhadap pemerintah, sehingga hal itu menjadi wiwin solution," katanya. 

Terkait tuntutan pencari suaka untuk meminta kembali difasilitasi tempat tinggal dan jatah uang, UNHCR telah mengupayakan sekuat tenaga. "Tapi secara jangka panjang kita tak bisa mencukupinya," ucapnya. 

Meskipun demikian, Thomas mengatakan, jumlah pencari suaka di Indoneisa masih terkendali dibandingkan dengan negara lainnya. Sebab jika merujuk pada negara lainnya seperti Bangladesh jumlah pencari suaka menyentuh angka jutaan.

Terkait destinasi Australia yang disebut menjadi idaman para pencari Suaka, Thomas menyebut hal itu tergantung personalnya. Karena setiap pencari suaka memiliki kereteria masing-masing.

"Dalam menentukan negara itu banyak faktor. Tergantung individu mereka. Namun yang penting mereka merasa aman. Itu yang utama," ujar Thomas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement