REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Akbar, Redaktur Republika
Tiada lagi kegelapan. Pagi telah datang. Sinar mentari pun tak lagi sungkan menerabas dedaunan yang menghiasi ranting-ranting pepohonan tinggi yang menjulang dengan diameter batang sekira semeter. Udara pun terasa ringan dihirup. Segar tanpa polusi layaknya udara di kota-kota besar yang dihasilkan dari asap kemacetan.
Pagi itu, kedatangan kami tak hanya disambut dengan kesejukan alam hutan tropis Batang Toru. Sambutan meriah justru diberikan melalui alunan suara sejumlah satwa liar, seperti siamang (Symphalangus syndactylus), cuitan beragam jenis burung, hingga vokal ayam hutan yang terdengar melengking dari kejauhan.
Suara-suara itu seakan menjadi harmoni alami tanpa notasi yang kaku dari ekosistem hutan yang lokasinya menghampar di atas 142 hektare wilayah tiga kabupaten di Tapanuli, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah di Provinsi Sumatra Utara. Inilah destinasi alami yang siap menjadi barang langka untuk dijumpai oleh orang kota.
"Kalau siamang biasa melakukan (suara) itu di pagi hari. Biasanya dikenal sebagai morning call. Mereka melakukannya hingga menjelang siang," kata Arrum Harahap, salah satu staf dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang menjadi pemandu Republika dalam perjalanan menyusuri hutan Batang Toru, belum lama ini.
Siamang merupakan salah satu primata yang umum dijumpai di Sumatra. Satwa ini, kata Arrum, tergolong ke dalam jenis hewan arboreal atau hewan yang aktivitasnya banyak dilakukan di pepohonan. Mereka biasanya hidup secara berkelompok. "Suara-suara itu biasanya menjadi penanda batas wilayah kekuasaan mereka," jelasnya.
Godaan satwa liar dari penghuni hutan Batang Toru itu seakan menjadi pemuas dahaga di tengah pencarian orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Ya, satwa primata ini telah menjadi primadona baru dari penghuni hutan Batang Toru ini. Utamanya, sejak November 2017 ketika spesies primata ini dipublikasi dan diklaim sebagai spesies baru dalam jajaran orangutan di Indonesia.
Spesies baru
Merujuk hasil riset kolaborasi yang dilakukan YEL, Sumatran Orangutan Conservations Programme (SOCP), PanEco, serta Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), orangutan yang bermukim di Batang Toru ini diklaim berbeda dengan orangutan yang ada di Aceh maupun Kalimantan.
Berdasarkan riset tersebut, dijelaskan, orangutan Tapanuli ini dinyatakan sebagai spesies kera besar terbaru di dunia dan hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru. Tapi, sangat sulit untuk bisa melihat langsung orangutan ini. Hewan ini sifatnya lebih suka menyendiri, berbeda dengan siamang yang terbiasa melakukan morning call ataupun yang terbiasa hidup secara komunal, kata Arrum berusaha menjelaskan.
Dan, selama perjalanan sehari menyusuri hutan Batang Toru, sungguh disayangkan kami tidak bisa menjumpai secara langsung penghuni primadona dari rimba di utara Sumatra ini. "Butuh kesabaran dan waktu lama kalau ingin bertemu orangutan," kata Andayani Ginting, manajer camp research orangutan dari YELSOCP, saat dijumpai di Pandan, Sibolga.
Sejak bergabung dalam penelitian orangutan Tapanuli di Batang Toru pada Maret 2018, Anda, demikian Andayani akrab disapa, bercerita sudah mengalami 115 kali perjumpaan. Dari perjumpaan sebanyak itu, alumnus Fakultas Kehutanan IPB ini mengaku orangutan yang ditemukan itu memiliki rentang usia antara delapan sampai 40 tahun.
Dalam mengukur usia orangutan, kata Anda, umumnya dilihat dari aspek fisik, seperti jenggot, pipi yang berbentuk cipet atau pipi yang melebar. Kalau dia sudah punya jenggot tapi belum punya cipet, bisa diperkirakan umurnya 15-20 tahun. Kalau sudah punya jenggot dan cipet, usianya sekitar 30-40 tahun, katanya.
Berdasarkan data yang dirilis International Union for Conservation (IUCN), orangutan Tapanuli ini tergolong daftar merah yang masuk ke dalam daftar spesies 'sangat terancam punah' (critically endangered). Wilayah sebaran orangutan Tapanuli ini, masih merujuk data riset, hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru dengan luasan kurang dari 110 ribu hektare atau kurang dari 0,23 persen luas Pulau Sumatra.
Populasi mereka terpecah ke dalam dua kawasan utama, yakni blok barat dan timur. Lalu, juga ada populasi kecil mereka di Cagar Alam Sibual-buali di sebelah tenggara Blok Barat, kata Dana Tarigan, direktur eksekutif Wahana Lingkungan HIdup Sumatra Utara (Walhi Sumut), saat berbincang di tempat terpisah.
Dana mengatakan, saat ini populasi orangutan Tapanuli terus terancam dengan jumlah yang kurang dari 800 individu. Orangutan Tapanuli ini, kata dia, memiliki kemiripan secara taksonomi, genetika, morfologi, ekologi, serta perilaku dengan orangutan Kalimantan, Pongo pygmaues, dan berbeda dengan orangutan Sumatra, Pongo abelii. Mengapa bisa demikian? Itulah yang masih terus diteliti sama kawan-kawan YEL, katanya.
Dengan kondisi faktual orangutan yang makin terancam keberadaannya, Dana mengajak banyak pihak untuk turut peduli kepada kelangsungan hutan di Batang Toru. Dengan peduli dan menjaga hutan di Batang Toru ini, dia mengaku, sudut pandangnya tidak hanya sebatas mendukung kelestarian orangutan.
Tapi, dengan menjaga hutan Batang Toru maka kita turut melindungi habitatnya yang di dalamnya ada manusia yang bergantung kehidupannya kepada hutan tersebut serta orangutan itu sendiri, katanya.