Selasa 02 Jul 2019 05:01 WIB

Disertasi Monash University: Agama tak Jadikan Teroris

Agama bukan penyebab seseorang jadi teroris melainkan soal sosial dan maskulinitas.

Narapidana kasus terorisme Noim Baasyir memberi isyarat jempol saat dikonfirmasi wartawan sekeluarnya dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Tulungagung, Jawa Timur, Selasa (19/2/2019).
Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Narapidana kasus terorisme Noim Baasyir memberi isyarat jempol saat dikonfirmasi wartawan sekeluarnya dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Tulungagung, Jawa Timur, Selasa (19/2/2019).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

‘’Menjadi teroris itu tak sekonyong-konyong. Melainkan bertahap seperti naik tangga.” Pernyataan Noor Huda Ismail yang kala itu mengurusi Yayasan Prasasti (yayasan yang memberdayakan mereka yang ‘dijatuhi hukuman melakukan aksi teorisme) sampai kini terus terngiang di kepala. Beberapa kali saya bertemu dengannya. Atas rekomendasinya saya tahu di mana saja para mantan narapidana kasus terorisme tinggal dan bisa saya temui. Hasilnya, setelah tahu saya terkejut!

Nah, kejutan kali ini datang lagi dari dia. Yakni sebuah kejutan yang luar biasa. Ternyata Noor Huda Ismail yang alumni Pesantren Ngruki, Solo, ini berhasil menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Monash, Australia, dengan disertasi ‘The Indonesian Foreign Fighters, Hegemonic Masculinity and Globalisation.’

Dan tak tanggung-tanggung, Huda (kalau orang barat seperti para profesornya di Australia menyebutnya dengan 'Mr Ismail') menamatkan  studi S3 di univeritas bergengsi itu dengan penuh pujian. ‘Nilai’ disertasinya ‘excelent’. Para profesor yang mengujinya malah memberikan rekomendasi bila disertasinya harus diterbitkan. Tujuannya, supaya menjadi kajian kondisi umat Islam terbaru, khususnya umat Islam di Asia Tenggara.

Pakar Antrpologi yang menjadi Guru Besar di Univeritas Boston Amerika Serikat dan sangat dikenal dikalangan ilmuwan Indonesia dan dunia, Robert Hefner, memberikan pujian begini: Tesis ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengetahuan dan pemahaman di bidang penelitian.’

Lalu apa intisari dari disertasi Huda yang anak alumni pesantren asal Solo yang kerap tempat pendidikan Islam ini 'lazim'  dituding —bahkan sampai tingkat internasional - di sebut sebagai ‘sarang teroris’ ? Apalagi sebutan ini saya pernah baca langsung di media massa barat sewaktu tinggal di Beirut, Lebanon. Kala itu saya tercengang nama pesantren itu disebutkan bersama beberapa pesantren yang ada di Sulawesi Selatan. Apalagi saya tahu persis teman-teman (bahkan dosen semasa kuliah) banyak alumni pesantren tersebut. Mereka banyak menjadi jurnalis, penyiar, dan wiraswasta. Tak ada yang aneh-aneh.

Dalam sebuah tulisan di sebuah media Huda mengatakan seperti ini: “Membaca Alquran, hadis, hingga buku Osama Bin Laden sekalipun tak bisa membuat orang lantas menjadi teroris.”

Lebih jauh Huda mengatakan,  memang sebagian orang mungkin menganggap bahwa penyebab seseorang melakukan terorisme itu karena faktor agama. Apalagi jika melihat orang yang terlibat terorisme membawa simbol-simbol agama. Namun, anggapan itu dipatahkan oleh tesis Huda.

Dalam disertasinya tersebut, Huda justru membawa kepada fakta dan teori baru bahwa seseorang menjadi teroris lebih disebabkan oleh proses sosialisasi dari orang sekitarnya. Dalam sosialisasi tersebut, seseorang diperkenalkan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan maskulinitas.

“Sejak kecil orang itu disosialisasikan, dikenalkan, didengarkan, disosialisasi untuk menjadi lelaki yang paling top itu adalah mujahid. Menjadi fighter, mujahid itu kan bertempur, membela Islam (jihad),” jelas Huda dalam wawancara dalam Media ‘Kumparan’ itu.

Untuk lebih jauh, mari kita baca 'ringkasan hasil ujian disertasinya'  beserta dengan pujian dan catatan dari pihak Univeritas Monash atas penelitiannya. Ringkasan ini oleh Huda dikirim dalam bentuk format PDF melalui Wattsapp."Silahkan dimuat saja, bro,'' ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement