REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Herizal mengatakan fenomena suhu tinggi di Timur Tengah (Timteng) diperkirakan tidak akan berdampak pada wilayah Indonesia. Kecil kemungkinan suhu hingga 50 derajat Celcius akan terjadi di Indonesia.
"Sistem sirkulasi udara yang menyebabkan gelombang panas di Timur Tengah berbeda dan tidak mengarah atau menuju ke Indonesia," katanya melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (1/7).
Selain itu, Herizal mengatakan sangat kecil peluang suhu panas yang mencapai lebih dari 50 derajat Celcius terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan BMKG, suhu maksimum di Indonesia tidak pernah mencapai 40 derajat Celcius.
Ia menambahkan bahwa suhu udara tertinggi yang pernah tercatat adalah 39,5 derajat Celcius pada 27 Oktober 2015 di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Menurut Herizal, suhu panas yang dirasakan di Timur Tengah akibat dari perluasan gelombang panas yang menyerang India sejak beberapa pekan sebelumnya. Gelombang panas terjadi di India, Pakistan, Afghanistan, Turkmenistan, Iran, dan Arab Saudi.
"Suhu permukaan di wilayah-wilayah yang terpapar gelombang panas terukur bervariasi antara 34 derajat hingga 51 derajat Celcius," katanya.
Berdasarkan data Badan Meteorologi Dunia (WMO), suhu tertinggi tercatat di Stasium Basrah-Hussein (Irak) sebesar 50,4 derajat Celcius dan Stasiun Mitribah (Kuwait) sebesar 51,4 derajat Celcius pada 10 Juni 2019.
Suhu panas juga terjadi di Paris dan Lyon di Prancis yang mencapai 34 derajat Celcius. "Berdasarkan pola klimatologis, wilayah Timur Tengah memang memiliki suhu tinggi pada periode Juni, Juli, dan Agustus akibat posisi gerak semu tahunan matahari yang berada di belahan bumi utara," katanya.
Kondisi itu juga didukung faktor geografis wilayah yang terletak pada lintang 20 hingga 30 dan umumnya memiliki iklim gurun sehingga memiliki kandungan uap air yang relatif lebih sedikit dibandingkan wilayah pada lintang lainnya, demikian Herizal.