Rabu 26 Jun 2019 05:55 WIB

KPK Yakin Bukti pada Persidangan Sofyan Basir Solid

Sofyan Basir diduga memfasilitasi pertemuan untuk mempercepat kesepakatan proyek.

Terdakwa kasus suap proyek PLTU Riau-1 Sofyan Basir menjawab pertanyaan wartawan sebelum menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (24/6).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus suap proyek PLTU Riau-1 Sofyan Basir menjawab pertanyaan wartawan sebelum menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (24/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini bukti-bukti yang akan diajukan pada persidangan perkara korupsi proyek PLTU Riau-1 dengan terdakwa Direktur Utama PT PLN nonaktif Sofyan Basir sudah solid. "Kalau terdakwa punya pendapat yang berbeda silakan ajukan bukti sebaliknya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/6).

Febri mengatakan, bukti-bukti tersebut berupa pertemuan-pertemuan yang membicarakan proyek PLTU Riau-1 dan juga bukti-bukti yang lain. "Tetapi tidak tepat kalau semua strategi itu disampaikan di awal ini," kata dia.

Baca Juga

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada Senin (24/6) telah membacakan surat dakwaan Sofyan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. "Jadi, proses persidangan itu kan sudah terbuka, JPU sudah bacakan dakwaan, eksepsi (keberatan) juga sudah dibacakan oleh terdakwa. Nanti tinggal hakim menilai bagaimana eksepsi tersebut dan pada proses pembuktian kita adu bukti saja," ujar Febri.

Dalam perkara ini, JPU KPK mendakwa Sofyan memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII dari Partai Golkar DPR Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd) Johannes Budisutrisno Kotjo. Tujuan pertemuan itu untuk mempercepat kesepakatan proyek "Independent Power Producer" (IPP) PLTU Mulut Tambang RIAU-1 dengan imbalan Rp4,75 miliar untuk Eni dan Idrus.

Sofyan Basir diancam pidana dalam pasal 12 huruf a jo pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP. "Dalam konteks terdakwa Sofyan Basir yang kami dakwaan kemarin perbuatannya diduga adalah membantu terjadinya tindak pidana. Karena itu, kami menggunakan Pasal 56 dan juga menggunakan Pasal 15, pasal ini dua hal yang berbeda," ucap Febri.

Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp 200 juta maksimal Rp1 miliar.

"Pasal 15 itu menegaskan konsekuensinya nanti percobaan perbantuan atau permufakatan penjahat dihukum sama. Pasal 15 adalah salah satu bentuk dari konsep extraordinary-nya korupsi. Kalau di tindak pidana umum percobaan itu bisa divonis atau dituntut jauh lebih ringan. Kalau di tindak pidana korupsi tidak, jadi akan bisa dihukum sama dengan pelaku perbuatan," tuturnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement