Rabu 26 Jun 2019 05:51 WIB

Amnesty Soroti Oknum Polisi Diduga Menyiksa tak Dihukum

Mabes Polri meminta temuan Amnesty tentang 21-22 Mei disampaikan ke tim investigasi.

Demonstran terlibat kericuhan saat menggelar Aksi 22 Mei di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Demonstran terlibat kericuhan saat menggelar Aksi 22 Mei di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia menyoroti tidak ada proses hukum terhadap oknum polisi yang diduga melakukan penyiksaan terhadap demonstran atau warga yang berada di sekitar lokasi Aksi 22 Mei. Amnesty menilai ini akan membentuk pola yang dianggap wajar.

"Ada ketiadaan pemidanaan penyiksaan yang dianggap sebagai salah satu langkah efektif untuk mencegah terjadinya penyiksaan seperti film-film tadi," tutur peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat setelah memutarkan sejumlah video oknum personel Brigade Mobile melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak melakukan perlawanan di Jakarta, Selasa (25/6)

Baca Juga

Menurut dia, dugaan penyiksaan oleh aparat kepolisian pada 21-23 Mei 2019 itu bukan sesuatu yang spesial. Sebab, ia mengatakan, Amnesty telah banyak mendapat kesaksian di daerah konflik, misalnya, di Papua, saat demo digelar, terdapat peserta yang ditangkap.

"Padahal belum tentu peserta demo itu adalah orang yang aktif memimpin demo, tetapi ada beberapa yang diambil juga dipukuli, jadi ini satu pola," ujar Papang.

Menurut dia, dalam sejumlah tayangan televisi pun ditampilkan polisi saat menangkap tersangka kriminal menggunakan kekerasan meskipun pelaku tidak berdaya dan tidak melakukan perlawanan. Ia menyebutkan Amnesty tidak melakukan penilaian terhadap kinerja polisi dalam menangani aksi demonstrasi yang awalnya berjalan baik, tetapi berubah menjadi kericuhan.

Polisi pun memiliki kewenangan untuk menangkap orang-orang yang diduga melakukan kekerasan serta menggunakan instrumen kekerasan, seperti tameng sampai senjata apabila ancaman sudah dianggap membahayakan petugas. Namun, adanya penggunaan kekerasan yang tidak diperlukan oleh aparat mesti diusut.

Untuk itu, Amnesty menyerukan agar dilakukan penyelidikan yang independen, imparsial, dan efektif terhadap dugaan penyiksaan dan perlakuan buruk pada 21-23 Mei 2019. "Rekomendasi kami meminta adanya investigasi yang efektif itu harus independen dan eksternal dari institusi yang diduga melakukan penyiksaan," ucap Papang.

Ia pun mengimbau agar polisi dilatih menerapkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Dalam laporan-laporan sebelumnya, Amnesty telah menggarisbawahi pendisiplinan pelanggaran oknum polisi jarang terjadi. Apabila terdapat upaya akuntabilitas, mekanisme yang digunakan adalah internal, bukan peradilan formal meski dugaan pelanggarannya tindak pidana.

Sementara itu, Mabes Polri meminta temuan Amnesty Internasional Indonesia tentang kerusuhan 21-22 Mei disampaikan resmi ke tim investigasi internal kepolisian.  Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, tim investigasi internal kepolisian, akan menindaklanjuti temuan dari lemabaga swadaya pemerhati hak asasi tersebut.

“Silakan kalau ada datanya, sampaikan ke tim investigasi Polri untuk didalami,” kata Dedi lewat pesan singkatnya, Selasa (25/6).

Bukan cuma dari Amnesty Indonesia, kata Dedi, setiap hasil penyelidikan mandiri oleh lembaga mana, pun agar disampaikan ke tim investigasi untuk dilakukan pendalaman. 

Dedi menerangkan, terkait kerusuhan 21-22 Mei, Mabes Polri sudah membentukan tim investigasi internal. Tim tersebut, punya kerja yang paralel dengan Komnas HAM, dan Ombudsman. Tim investigasi internal itu dipimpin oleh Irwasum Polri Komjen Moechgiyarto. Tim investigasi internal tersebut, menyelidiki sejumlah pelanggaran prosedur yang dilakukan anggota Polri saat kerusuhan 21-22 Mei.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement