Rabu 26 Jun 2019 00:01 WIB

Kajian UGM: KPPS Meninggal Bukan karena Diracun

Kajian dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 20 Mei.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andri Saubani
Ketua KPU Arief Budiman (kedua kanan) bersama Tim Kajian Lintas Disiplin bersiap memberikan keterangan kepada wartawan tentang Hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas KPPS Pemilu 2019, di Media Center KPU, Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Ketua KPU Arief Budiman (kedua kanan) bersama Tim Kajian Lintas Disiplin bersiap memberikan keterangan kepada wartawan tentang Hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas KPPS Pemilu 2019, di Media Center KPU, Jakarta, Selasa (25/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kajian lintas displin untuk mengungkap penyebab sakit dan wafatnya petugas kelompok petugas penyelenggara pemilu 2019. Berdasarkan kajian ini, mengungkap penyebab wafatnya petugas pemilu bukan disebabkan racun. 

Kajian dilakukan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak 20 Mei hingga akhir pekan kemarin. Koordinator Tim Peneliti UGM Abdul Gaffar Karim mengungkapkan kajian ini menggunakan metode campuran (mixed-methods), yaitu kuantitatif dengan metode survei dan kualitatif dengan metode deskriptif. Survei ini dilakukan terhadap perwakilan TPS dan petugas pemilu (KPPS, PPS dan PPK) di 400 TPS yang tersebar di DI Yogyakarta.

Sebanyak 400 TPS ini dipilih menggunakan teknik cluster random sampling dari 11.781 TPS di seluruh DIY. Sampel tersebut berfungsi untuk mengestimasi rerata beban kerja Petugas Pemilu.

"Data kami menunjukkan bahwa semua yang meninggal itu disebabkan oleh penyebab-penyebab natural. Kami sama sekali tak menemukan indikasi misalnya diracun atau sebab-sebab lain yang lebih ekstrem," ujar Gaffar saat jumpa pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/6).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kata Gaffar, petugas KPPS meninggal atau sakit murni karena penyebab natural atau alamiah di mana para petugas tersebut memiliki riwayat penyakit kardiovaslular seperti penyakit jantung, stroke atau gabungan keduanya. Selain itu, kata dia, penyebab lain adalah beban kerja petugas KPPS yang sangat tinggi sebelum, selama dan sesudah hari pemilihan.

"Rata-rata beban kerja petugas KPPS mencapai 20 hingga 22 jam. Selain itu 80 persen dari petugas KPPS yang meninggal ternyata telah memiliki riwayat penyakit kardiovaskular yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah," ungkapnya.

Sementara Peneliti lain, Riris Andono Ahmad, menjelaskan bahwa kajian ini menggunakan tiga metodologi, yakni verbal autopsi untuk mencari penyebab kematian, survei potong lintas di tempat pemungutan suara (TPS), serta penelitian kasus kontrol untuk mengetahui penyebab sakit.

Berdasarkan hasil verbal autopsi oleh dokter spesialis forensik, kata Riris, ditemukan fakta bahwa 8 dari 10 petugas KPPS yang meninggal memiliki riwayat penyakit diabets, hipertensi, dan jantung serta 90 persen mempunyai riwayat merokok. "Sementara dari temuan survei potong lintas di TPS ditemukan beban kerja petugas berkisar antara 20-22 jam pada hari pelaksanaan pemilu, 7,5 hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS, dan 8 hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan atau formulir C6," jelas Doni.

Kemudian, Riris meyebutkan, juga rata-rata petugas memiliki pekerjaan utama selain menjadi petugas KPPS. Hal tersebut membuat waktu istirahat para petugas KPPS menjadi semakin sedikit. Kurangnya istirahat menyebabkan para petugas kelelahan dan jatuh sakit.

"Beban kerja terberat terjadi saat hari pencobolosan suara dengan presentase 80 persen bekerja dan 20 persen istirahat. Sementara 1 hari sebelum Pemilu 70 persen kerja 30 persen istirahat, dan 1 hari setelah Pemilu 60 persen kerja 40 perseb istirahat," tambah Riris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement